Kamis, 10 September 2015

Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops (Bagian 3/Hari Kedua dan Ketiga)

Salam sahabat alam…
Aku membuka mata, butuh beberapa waktu untuk menyadari dimana aku sekarang. Aku berada di Base Camp, beberapa puluh meter di bawah puncak Pegunungan Cyclops. Oh iya, saat ini aku sedang tergabung dalam tim Ekspedisi 70 Merah Putih Pendakian Pegunungan Cyclops. Kegiatan ini direncanakan berlangsung selama tiga hari. Hari pertama kemarin, kami habiskan dengan mendaki dari Sentani dan berakhir di Base Camp ini, tempat aku menghabiskan malam dalam lelap. Pendakian kemarin betul-betul menguras tenagaku.
Aku bangun pagi-pagi sekali. Kuraih jam tangan, jam 4.15. Kubuka pintu tendaku, dan melangkah keluar. Camp ini berupa beberapa tempat datar yang agak luas, sekedar bisa untuk mendirikan satu atau dua buah tenda. Samar-samar aku bisa melihat tenda-tenda tersebar di sekelilingku. Belum ada tanda-tanda kehidupan. Mungkin penghuninya masih terlelap dalam kepenatan usai pendakian kemarin. Aku berjalan sedikit mendaki ke lokasi berikutnya. Ada tanah lapang yang lebih luas dari lokasi tendaku. Aku melihat tenda terpal yang kukenali sebagai tenda tim dari TNI Angkatan Udara dan Pramuka, plus ada beberapa tenda perorangan disini. Ditengah-tengah, nampak api unggun yang masih menyisakan bara api dikelilingi beberapa orang yang duduk meringkuk, mencari sisa-sisa kehangatan dari api unggun. Aku berjalan bergabung dengan mereka. Aku mengenali Kak Cua dan salah satu teman biker nya.
“Pagi Kak Cua. Nyampe jam berapa semalam?” sapaku sambil duduk di sebelah mereka.
“Pagi Bapak, saya sampai jam delapan lebih. Bapak sendiri jam berapa sampai?”
“Jam tujuh kurang. Apa semua sudah sampai?” Aku merapatkan badanku ke api unggun untuk mengusir dingin.
“Tadi tim penyapu tiba jam empat pagi. Bersama beberapa anak sekolah. Sepertinya anak Pramuka. Info dari tim penyapu semua pendaki sudah tiba, kecuali ada empat peserta yang memutuskan kembali dan tidak meneruskan perjalanan.”
Ketika kami asyik mengobrol, satu persatu nampak kehidupan dari tenda-tenda di sekeliling kami.
Dari tenda merah marun yang paling dekat dengan api unggun, muncul kepala yang tampak besar karena rambut kribo nya. Rupanya itu tendanya Ray, si pendaki cilik. Pak Ketua menyusul keluar dari tenda yang sama. Ray menuju ke atas, ke arah tenda panitia, sementara Pak Ketua duduk bergabung dengan kami.
Dari sebuah tenda hijau tua di balik tenda Pak Ketua, muncul dua gadis, Cece Si Gadis Aset dan seorang temannya. Setelah menyapa kami, mereka menuju ke tempat penampungan air. Sepertinya mereka mau cuci muka dan sikat gigi.
Dari Pak Ketua, aku mengetahui kalau tim yang pertama tiba adalah Ray si pendaki cilik beserta dua orang dari CPA Hirosi pada pukul 15.10, sementara tim yang terakhir tiba adalah dua anak pramuka didampingi tim penyapu sepuluh menit menjelang adzan Subuh. Dan seperti Kak Cua bilang, ada empat peserta yang tidak melanjutkan pendakian dan memutuskan kembali. Aku bersyukur bisa mendaki sampai puncak, dan terlebih bisa menyelesaikan pendakian saat petang hari. Bisa kubayangkan betapa susahnya pendakian malam hari, melihat medan yang kuhadapi kemarin.

NKRI Harga Mati
Menjelang jam enam pagi, Kak Mika, ketua tim ekspedisi, turun dari tenda panitia dan merapat ke api unggun tempat kami sedang berkumpul. Tanpa menyapa, dia langsung berteriak memberikan pengumuman.
“Perhatian, untuk seluruh peserta ekspedisi, dalam waktu lima menit akan dilaksanakan kegiatan renungan pagi. Agar para peserta segera berkumpul ke sumber suara.”
Beruntung kegiatan dilaksanakan di tempat kami berada sehingga aku tidak perlu memindahkan posisi badan yang sudah nyaman dalam belaian kehangatan api unggun. Terlebih Cece yang sudah selesai membersihkan muka, duduk tepat di sampingku. Sungguh posisi yang sangat strategis.
Tidak membutuhkan waktu lama, api unggun dikelilingi beberapa puluh peserta yang nampak masih malas-malasan. Setelah semuanya berkumpul, Kak Mika memulai kegiatan pagi ini. Kegiatan diawali dengan berhitung, untuk memastikan jumlah peserta yang telah tiba di Base Camp. Kami berangkat sebanyak 56 orang, 4 orang tidak melanjutkan pendakian, ditambah tim aju sebanyak 4 orang, maka jumlah kami seharusnya tetap 56 orang.
Setelah meyakinkan jumlah peserta sesuai dengan yang seharusnya, kegiatan dilanjutkan dengan sesi motivasi yang diisi pak ketua. Pagi ini Pak Ketua menceritakan tentang Bapak Pandu Dunia, Bapak Baden Powell, cukup menginspirasi.
Selesai sesi motivasi, kami diberikan waktu untuk kegiatan pribadi yang dapat kami gunakan untuk sarapan dan berinteraksi dengan sesama peserta. Timku menemukan tempat yang strategis untuk menyalakan parafin dan mulai memasak bekal kami. Karena tendaku sedikit terpisah, maka aku turun untuk mengambil bekal sarapanku. Saat aku naik, ternyata Cece sudah bergabung di tempat masak dengan segala perlengkapannya. Ada kompor gas lapangan, panci kecil, gelas-gelas kecil, minyak goreng, kornet, roti, dan juga mie instan
Aku bertanya-tanya, dimana dia menyimpan semua barangnya, karena aku tahu dia hanya membawa carrier 40 liter, sama dengan ranselku. Ranselku sendiri sudah penuh sesak hanya dengan memasukkan tenda dan sleeping bag ke dalamnya. Bekalku, yang hanya 2 kaleng konservan, 2 bungkus mie instan, roti tawar dan beberapa minuman instan dengan susah payah aku selip-selipkan ke dalam ransel. Sementara dia sudah macam mau buka toko kelontong saja, semuanya ada.
Yang membuatku lebih heran, buat apa gadis dengan postur seperti tiang listrik begitu, membawa bekal sebanyak itu. Kami hanya akan berada disini sehari semalam, namun makanan yang dia bawa, lebih dari cukup untuk seseorang bertahan di hutan selama seminggu lebih. Jangan-jangan dia model cewek yang walaupun kurus, namun memiliki usus yang panjang sehingga susah kenyang.
Namun ternyata, bekal berlimpah Cece adalah berkah bagiku. Karena ternyata Cece dengan rela hati menjadi tim dapur umum. Bukan hanya bekalnya yang dia bagi, namun diapun dengan sukarela memasakkannya untuk kami. Bahkan pengalamannya membuat hidangan istimewa dengan bahan seadanya semakin memanjakan lidah kami. Ditambah celotehnya yang tidak pernah berhenti, benar-benar menjadi hiburan yang menyegarkan bagi kami.
“Abang,air sudah mau habis, tolong ambilin bisa kah? Masak menjaga negara saja bisa, ambilin air ga mampu.” Untuk kesekian kalinya suara cerewetnya membuat Didik dan Khomsa beranjak dari duduknya dan mengambil jerigen yang sudah kosong untuk selanjutnya turun ke sungai. Hal ini menjadikanku hanya berdua bareng Cece yang sedang membereskan peralatan memasaknya. Kesempatan yang sangat baik untuk mengajaknya ngobrol dengan lebih private.
“Abang, jangan hanya diam, bantuin beresin donk. Nanti siang dan sore kita masih harus masak. Bisa tolong kumpulkan sampah dan bakar di api unggun?”
Belum juga aku membuka mulut, bibir tipisnya sudah memberondongku dengan kata-katanya yang tak terbantahkan. Dengan patuh aku melaksanakan permintaannya. Sambil memunguti sampah, kucoba untuk mengajaknya bercakap-cakap.
“Cece, gimana cara adek atur carrier sehingga barang sebanyak ini bisa masuk?” Hmm, basa basi yang cukup bagus untuk membuka percakapan.
“Ransel Cece isinya hanya baju dua potong, selimut dan jaket, Abang. Sisanya peralatan memasak dan bahan makanan. Cece tidak bawa tenda, jadi semua bisa masuk.”
“Trus itu tenda siapa?” Tanyaku sambil menunjuk tenda hijau dimana aku melihatnya pertama kali tadi pagi.
“Oh, itu tenda Aan, Cece khan dipasangkan sama dia oleh Pak Ketua”
Percakapan selanjutnya berjalan lancar. Semua pertanyaanku dia jawab dengan senang hati, kadang serius, tapi lebih banyak bercandanya. Ada satu kata, atau lebih tepatnya frase yang sering dia ulang dalam beberapa kesempatan. Frase “NKRI Harga Mati”. Dia mendapatkan frase itu dari tulisan di kaos yang kupakai. Awal dia mengucapkannya adalah ketika dia menceritakan tentang tugasnya sebagai seorang bidan penyuluh. Tugas yang mulia, namun resiko dan bahayanya tidak kalah dengan kami anggota TNI yang bertugas di perbatasan. Untuk melaksanakan tugasnya, Cece beserta tim nya harus berkeliling ke seluruh pelosok di penjuru papua. Boven Digul, Asmat, Wamena, adalah beberapa contoh dari tempat yang harus dia kunjungi. Tak jarang dalam melaksanakan tugasnya, Cece dan tim harus mendapatkan pengawalan dari anggota TNI karena daerah yang dia tuju termasuk dalam daerah rawan dan berbahaya. Karena pengalaman itulah, dia sering berinteraksi dengan rekan-rekan kami tentara perbatasan, sehingga dia benar-benar memahami beratnya tugas kami. Karena itulah ketika dia pertama kali membaca tulisan di kaosku, dia sangat terkesan untuk kemudian menjadikannya salam pemberi semangat kami. “NKRI Harga Mati abang…!!!”

Generasi Bebas Romina
Menjelang tengah hari, kami kembali berkumpul di area api unggun yang kini hanya tinggal abu dan arang. Ada suatu kegiatan yang merupakan salah satu inti dari pendakian ini. Penandatanganan Deklarasi generasi bebas Romina. Romina adalah akronim dari Rokok, Minuman Keras, dan Narkoba.
Aku cukup mengagumi ide dan semangat CPA Hirosi untuk mengangkat tema ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa komunitas pecinta alam, khususnya yang ada di kota-kota besar, saat ini banyak yang menjadikan Romina sebagai bagian dari gaya hidupnya. CPA Hirosi berkeinginan mengubah image tersebut. CPA Hirosi ingin menunjukkan bahwa di ujung timur Indonesia, ada sekelompok remaja yang selain hobi mendaki gunung, juga berperilaku hidup sehat dan menjauhi Romina.
Aku sendiri bukanlah seorang perokok (lagi). Aku juga bukan seorang pemabuk, walaupun aku mengakui tidak sepenuhnya selalu bebas dari alkohol. Dan aku sudah jelas tidak mengkonsumsi narkoba. Namun itu aku lakukan untuk pribadiku sendiri, demi diriku dan orang-orang yang aku sayangi. CPA Hirosi melakukan lebih dari itu. Dia “memaksa” generasi muda yang ikut dalam kegiatan ini untuk mendeklarasikan diri sebagai generasi bebas Romina. Aku yakin ada beberapa peserta adalah perokok, peminum, atau mungkin bahkan ada yang pengguna. Namun CPA Hirosi dengan caranya sendiri membuat mereka meninggalkan Romina, setidaknya selama pendakian ini berlangsung.
Selesai penandatanganan, tidak ada kegiatan terpimpin sampai sore hari. Beberapa peserta yang ditunjuk sebagai petugas pengibaran bendera tampak sedang serius mempersiapkan upacara besok, sementara peserta lainnya sibuk dengan kegiatan masing-masing seperti foto-foto, melanjutkan acara makan, ataupun saling mengunjungi tenda peserta lain.
Upacara besok, aku memberikan kesempatan kepada Kapten Sucipto untuk menjadi Komandan Upacara. Pertama, biar adil, karena aku sudah tampil sebagai Komandan Apel saat pemberangkatan kemarin. Alasan kedua, dengan tidak terlibat langsung upacara besok, aku jadi bisa santai dan tidak sibuk mempersiapkan upacara. Petugas upacara lainnya sengaja dipilih dari anak-anak mahasiswa dan juga klub, untuk memberi kesempatan semua peserta untuk berpartisipasi (termasuk Cece yang akan bertugas sebagai Dirigent). Rekan-rekan TNI hanya aku arahkan untuk membantu melatih saja. Dari TNI, praktis hanya Kapten Sucipto saja yang akan bertugas besok.
Malam harinya, ada suatu kegiatan yang sangat menyenangkan. Kita turun ke Teras untuk bermain senter dengan Kota Sentani. Teras adalah suatu tempat, jaraknya sekitar tigapuluh meter di bawah Base Camp. Teras menjadi tempat yang sangat strategis untuk melihat Kota Sentani karena tidak ada pepohonan ataupun obstacle lainnya yang menghalangi indahnya pemandangan Kota Sentani di bawah, areanya juga cukup datar dan lumayan luas meskipun berada di tepi jurang.
Rasanya sangat menyenangkan ketika kami mengarahkan cahaya senter ke arah kota, lalu kita mendapatkan balasan cahaya dari bawah. Seperti ada pengakuan bahwa warga kota Sentani melihat dan mengakui apa yang sudah kami perbuat. Cukup banyak yang membalas sorotan cahaya dari kami, termasuk dari komplek perumahan TNI Angkatan Udara.
Sekitar setengah jam kami bermain senter, kabut mulai turun dan menghalangi pandangan kami. Banyak dari teman-teman peserta bertahan di teras karena belum puas bermain senter dan berharap kabut tersebut hanya lewat sebentar. Aku sendiri memutuskan untuk naik kembali ke Base Camp. Aku hanya membawa headlight, sejenis senter yang dipasang di dahi, sehingga tidak bisa digunakan untuk main senter.
Di perjalanan kembali, ternyata ada seseorang yang juga memutuskan kembali ke Base camp lebih awal. Dan orang itu tak lain dan tak bukan adalah Cece, Si Gadis Aset. Dia beralasan senternya kecil dan tidak cocok untuk digunakan main senter, alasan yang sama denganku. Akhirnya kami berjalan bersama menuju Base Camp.
Sesampai di Base Camp, dengan sebagian peserta masih ada di teras, kami berdua bisa leluasa menghangatkan diri di dekat api unggun sambil bercerita panjang lebar. Suasana malam yang sunyi, gelap dan tenang, membuat percakapan kami menjadi lebih terasa personal. Tak terasa aku sudah bercerita tentang hal-hal dan cerita yang bersifat pribadi kepada seseorang yang baru kukenal kurang dari satu minggu. Salah satunya, cerita tentang kepindahanku ke Jayapura yang membuatku harus terpisah waktu dan jarak dengan keluargaku.
Namun sebenarnya, malam itu aku lebih banyak menjadi pendengar. Karena aku mendapatkan kepercayaan dari Cece untuk mengetahui kisah hidupnya yang jauh lebih berwarna daripada yang kuduga. Dibalik tawanya yang ceria, dibalik senyumnya yang manis, ada banyak cerita yang luar biasa. Setelah menyimak kisahnya, aku merasa malu. Masalahku tidak ada seujung kuku jika dibandingkan kisah hidupnya, dan aku sudah merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia. Sementara Cece, dengan semua beban yang ada dipundaknya, masih bisa tersenyum, tertawa dan menjadi penyemangat bagi orang-orang disekitarnya.
“Ketika Cece tersenyum, bukan berarti hidup Cece sempurna bang, Cece hanya berusaha mensyukuri apapun yang telah Tuhan berikan untuk Cece. Speechles aku mendengarnya.
Percakapan kami terhenti karena sebagian peserta sudah kembali dari Teras dan bergabung bersama kami. Tak lama kemudian Cece berdiri dari tempatnya lalu bergabung dengan beberapa peserta yang akan menjadi petugas upacara besok, untuk melaksanakan pemeriksaan terakhir. Aku sendiri memilih untuk beristirahat lebih cepat dengan pertimbangan besok harus turun dari pegunungan Cyclops yang membutuhkan energi ekstra.

Indonesia Tanah Air Beta
Pagi harinya, begitu bangun, semua peserta mulai memberesi tenda masing-masing. Dalam waktu limabelas menit saja, tendaku sudah rapi terlipat dan masuk ke dalam carrierku. Aku membawa ranselku ke atas, untuk bergabung dengan rekan-rekan yang sedang membongkar tenda terpal mereka.
Aku tak bisa menahan senyum ketika sampai diatas. Di tempat kami biasa memasak, nampak berbagai macam makanan bertumpuk jadi satu. Aku menduga Cece telah mengosongkan sebagian besar isi carriernya pagi ini, dan ditambah sisa-sisa bekal dari teman-temanku, jadilah sebuah bukit kecil yang terbuat dari bahan makanan. Siapa yang akan menghabiskan semua makanan itu dalam waktu singkat.
“Abang mau makan apa? Mie, roti isi, ransum, atau yang lain?” Cece yang sedang memanaskan kornet menyapaku sambil tersenyum.

Aku tak menjawab pertanyaannya, kuambil selembar roti gandum dan kuserahkan padanya. Cece menerimanya, kemudian menambahkan daging kornet diatas roti. “Abang harus makan yang banyak, untuk mengurangi beban ransel Cece” Ucapnya sambil mengulurkan roti isi yang sudah jadi. Berarti benar, sebagian besar dari makanan ini berasal dari bekal dia. Aku menerima roti itu dan mulai menikmatinya.
“Makanya, bawa bekal secukupnya, Jangan semua isi supermarket dibawa keatas. Macam mau buka toko kelontong disini saja”
“Abang, Cece orangnya suka makan, dan tidak bisa makan sendiri, makanya Cece bawa bekal banyak, supaya bisa makan bareng dengan teman-teman. Abang protes saja, tapi giliran makannya mau.” Aku cuman nyengir mendengar celotehnya, telingaku sudah mulai terbiasa dengan kata-kata pedasnya.
Setelah semua tenda sudah dibongkar, dan semua sudah sarapan, peserta dan panitia turun ke Teras untuk melaksanakan upacara peringatan HUT RI ke-70. Bertindak sebagai Pembina Upacara adalah Pak Ketua, sementara Kapten Sucipto yang menjadi Pemimpin Upacara. Kak Ola dari Komite Penanggulangan AIDS (KPA) didaulat menjadi pembawa acara. Pengibar bendera adalah tiga orang yang terdiri dari perwakilan mahasiswa poltekkes, pendaki Merauke, dan perwakilan Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GMPI). Setelah satu kali gladi, upacara dapat kami laksanakan dengan lancar.
Walaupun upacara yang dilaksanakan dengan sederhana, tempat seadanya, pakaian warna warni, bahkan kita mendahului satu hari dari yang seharusnya, namun aku merasa upacara ini tidak kalah khidmat dengan upacara yang dilaksanakan di Istana Negara. Terlebih saat Cece yang bertugas sebagai dirigent memimpin seluruh peserta upacara menyanyikan lagu Indonesia Pusaka. Lirik lagu yang sedikit syahdu, membuat hati seluruh peserta upacara tergetar. Apalagi kami menyanyikannya dipimpin seorang bidan muda cantik yang mengabdikan dirinya sebagai penyuluh kesehatan di pelosok-pelosok Papua. Betul-betul mengena di hati. Merdeka…!!!


Selesai upacara, kami kembali ke Base Camp untuk mengambil barang bawaan kami, sekaligus menghilangkan semua bekas dan jejak selama kami disana. Semua sampah kami bakar dan kaleng-kaleng kami timbun. Kemudian kami bersiap untuk turun gunung.
Perjalanan turun ternyata tidak seberat yang aku bayangkan. Meskipun tidak bisa sampai berlari, namun perjalanan turun jauh lebih cepat daripada saat berangkat. Dan setelah dua setengah jam perjalanan, tiga kali terpeleset, dan empat kali terantuk batang pohon, aku sampai di CPA Hirosi.
Setelah semua peserta tiba di CPA Hirosi, Kak Mika selaku ketua tim ekspedisi menghitung jumlah peserta, untuk kemudian menyampaikan ucapan terima kasih atas partisipasi seluruh peserta. Acara kemudian dilanjutkan dengan pembagian kaos kegiatan. Menjelang maghrib, satu persatu dari kami meninggalkan CPA Hirosi untuk kembali ke tempat kami masing-masing.
Tiga hari yang luar biasa, tiga hari yang tidak terlupakan dalam hidupku. Semoga pengalaman ini semakin membuatku bertambah dewasa.
Salam sahabat alam…


Tidak ada komentar: