Selasa, 25 Agustus 2015

Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops 2015 (bagian 1)




Salam sahabat alam…
Hari itu, Jumat, 14 Agustus 2015 menjadi hari yang sangat bersejarah bagi diriku. Hari dimana aku akan melaksanakan kegiatan yang pernah dan masih sangat aku sukai. Advonturir, hiking, dan berpetualang. Ya, selama tiga hari, aku akan bergabung dalam sebuah kegiatan bertajuk Ekspedisi 70 Merah Putih yang akan menuju puncak tertinggi di Kabupaten Jayapura, Gunung Cyclop. Membayangkannya saja aku sudah merasa 15 tahun lebih “pucuk” (baca muda).


Kegiatan ini digagas oleh Club Pecinta Alam (CPA) Hirosi Papua dan didukung penuh oleh Lanud Jayapura, kantorku. Siapa dan seperti apa CPA Hirosi akan saya ceritakan di tulisan tersendiri, karena tidak adil rasanya jika aku hanya menceritakannya dalam satu paragraf setelah banyaknya hal menakjubkan yang kudengar selama tiga hari kami berinteraksi dengan organisasi hebat ini.
Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka menyambut HUT RI yang ke 70 dan mengambil tema Menuju Generasi Bebas Romina (Rokok, Miras dan Narkotika). Tema yang sangat luar biasa mengingat selama ini para pecinta alam identik dengan hal-hal tersebut diatas.
Untuk mewadahi besarnya semangatku akan pendakian ini, kisah ini akan kubagi dalam dua bagian. Persiapan pendakian dan pendakian itu sendiri. Ini untuk mencegah adanya kebosanan dengan cerita yang sangat panjang dan bertele-tele. Maaf kalau aku bertele-tele, karena aku menganggap semua penting, sehingga tak mampu melewatkannya dalam tulisan.

Pra Pendakian
Cerita ini berawal pada Akhir Juli, awal-awal masuk kantor setelah libur lebaran. Ada informasi kepada anggota Lanud Jayapura yang disanpaikan pada saat apel pagi, bahwa akan dilaksanakan sebuah ekspedisi ke puncak cyclops, dan personel yang berminat ikut pendakian ke Puncak Cyclop diijinkan untuk ikut. Aku sangat bersemangat mendengar berita ini. Sejak pindah ke Sentani Jayapura April lalu, sering aku menatap Puncak Cyclops di depan kantor sambil membayangkan aku berada di puncak tertinggi Sentani tersebut. Hal inilah yang menjadikanku menjadi orang pertama yang mengajukan diri, dan akhirnya bergabung bersama 9 personel lainnya menjadi perwakilan Lanud Jayapura pada kegiatan tersebut.
 Gunung Cyclops nampak dari halaman kantor Lanud Jayapura

Kegiatan pertama yang kami ikuti adalah pra pendakian II. Suatu tahap latihan yang bertujuan membiasakan para peserta menghadapi rute pendakian nantinya. Saya tentu sangat senang dengan adanya latihan ini, dan sedikit menyesal tidak bisa mengikuti pra pendakian pertama. Bagaimana tidak, saya terakhir kali mendaki gunung adalah sebelas tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2004. Saat itu aku bersama beberapa rekan menikmati indahnya sunrise di puncak Gunung Merapi Yogyakarta.

 Salah satu kegiatan pra pendakian II

Kegiatan ini dilaksanakan pada Hari Minggu tanggal 5 Agustus 2015 di perbukitan yang ada di kaki gunung cyclop, tepatnya di belakang perkantoran Kabupaten Jayapura. Kami berkumpul di kantor CPA Hirosi Papua bersama peserta lainnya. Dan ternyata, bukan hanya wajah-wajah keras bercambang yang kami temui dalam latihan ini, namun adapula beberapa gadis tangguh yang menjadi peserta (#colek srikandi belantara). Jadi makin semangat nih, latihannya hehehe…

 Srikandi belantara, tim hore pendakian kali ini

Setelah mendengar pengarahan dari Ketua Tim Pendakian Michael Rumbarar (Kak Mika), kami menyusuri jalan setapak dari CPA Hirosi menuju belakang Kantor Bupati Jayapura, dilanjutkan menuju bukit pertama. Perjalanan semakin lama semakin menantang, dengan medan yang semakin sulit. Dan akhirnya, setelah lebih kurang 3 jam perjalanan, kami tiba juga di ujung perjalanan di CPA Hirosi.


 Salah satu medan pra pendakian

Selain sebagai sarana latihan, Pra Pendakian juga merupakan ajang saling kenal antara peserta dan juga panitia. Disini pertama kalinya aku ketemu dengan Ketua CPA Hirosi Papua Pak Marshall Suebu, Bendahara CPA Hirosi Kak Gloria, Pendaki cilik Ray yang tak lain putra pak ketua CPA, Sang Srikandi Belantara, Kak Jo yang didaulat menjadi seksi kesehatan (padahal Kak Jo ini adalah seorang dokter hewan hahaha..), Kak Cua dari Jayapura Tiger Motor Club (JTMC) yang bertubuh tinggi besar tapi sangat suka bercanda, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ajang pra pendakian juga menjadi tempat koordinasi dan pengarahan mengenai apa-apa saja yang harus disiapkan oleh masing-masing peserta, dan ini yang membuatku sadar, banyak perlengkapan pendakian yang belum tersedia untukku.
Suasana di akhir pra pendakian II

 Hoela Brotherhood




Satu hal kecil namun penting adalah masalah identitas. Memang dalam pendakian nanti aku adalah seorang tentara berpangkat kapten yang bertindak sebagai salah satu personel Lanud Jayapura yang berangkat mewakili Instansiku bersama 6 rekanku yang lain. Memang nanti tim kami membawa bendera Lanud Jayapura sebesar 8X6 meter persegi untuk dikibarkan di Puncak Cyclops.
Namun sebagai personal, aku harus menunjukkan jati diriku. Aku harus menunjukkan bahwa aku adalah Ekvan, dan Ekvan adalah Kawoel. Dan cara terbaik menunjukkannya adalah dengan membawa sebuah bendera, yang bisa menunjukkan siapa diriku.
Saat pra pendakian, aku sudah melihat, bendera2 yang dipersiapkan rean-rekan pendakian. Ada bendera saka dirgantara yang dibawa anak-anak Pramuka, ada bendera klub motor, Club pecinta alam, Himpunan Mahasiswa, dan lain-lain. Maka aku juga akan membuat bendera kebangsaanku. Yang menunjukkan siapa diriku. Dan tidak perlu banyak pertimbangan, aku memutuskan akan membuat dan membawa bendera Hoela.


 Bendera Hoela, Anda Smada kita saudara, Anda Hoela kita kanca

Apa itu Hoela? Sedikit susah menjelaskan apa itu Hoela. Kalau anda bertanya kepada Alumni SMA Negeri 2 Kediri tahun 2000 tentang Hoela, mereka akan dengan mudah menjelaskan apa itu Hoela. Para ladies akan menyebut bahwa Hoela itu adalah sekumpulan anak cowok yang keren tapi urakan, kreatif tapi bandel, atau bahasa singkatnya sekumpulan anak yang gaul banget. Namun para alay akan bilang bahwa Hoela adalah kelompok remaja nakal yang susah diatur, troublemaker, dan brengsek. Sementara bagi para bapak ibu pengajar kami, Hoela adalah anak2 yang sangat mereka sayangi dan pedulikan sehingga seringkali beberapa diantara kami diajak ngobrol di kantor BP, di ruang guru, bahkan di tengah lapangan. Tak jarang kami harus ditemani orang tua kami karena bahan obrolan yang cukup serius, hehehe.
Namun untuk menjelaskan ke orang awam, aku rasa cukup dengan kata Hoela itu kumpulan teman terbaikku saat SMA sampai dengan saat ini. Kami mungkin sudah terpisahkan jarak dan waktu, namun hal itu tidak mengurangi kedekatan dan keakraban kami. Hoelaers sekarang tersebar dari sabang sampai merauke, bahkan sampai ke Suriname. Ada yang jadi tentara, polisi, PNS, Karyawan swasta, sampai pengusaha. Kami menjalani hidup kami masing-masing tanpa melupakan rekan seperjuangan kami di dalam Hoela. Kami masih bisa merasakan sakit ketika salah satu dari kami terluka. Kami masih bisa tersinggung ketika ada orang lain yang melukai perasaan salah satu dari kami. Lulusan SMA Negeri 2 bisa bilang Anda Smada kita saudara, dan kami akan dengan bangga menambahkan, Anda Smada kita saudara, Anda Hoela kita kanca. Kanca itu sahabat, kata yang bermakna lebih dari sekedar saudara, sekedar teman.

 Berasa ABG lagi...

Logo Hoela didesain oleh Delta, salah satu Hoelaers yang saat ini menjadi juragan kembang api di Ponorogo, dan sudah mendapatkan persetujuan dari mayoritas Hoelaers. Sebuah logo sederhana berbentuk pohon kelapa berwarna hijau, yang menunjukkan sebuah lokasi di kaki gunung klotok, tempat kami dulu biasa kongkow bareng. Dengan membawa bendera ini. Aku merasa kekuatanku bertambah berlipat ganda, dan aku merasa seakan aku masih anak SMA yang tanpa beban.

 Juragan petasan, sang perancang logo Hoela

Berburu Peralatan
Mendaki gunung tanpa peralatan sama saja mandi tanpa sabun, keramas tanpa shampoo, atau sikat gigi tanpa odol. Bisa tapi tidak akan maksimal hasilnya. Untuk itulah aku mulai berhitung darimana akan melengkapi peralatanku. Jangan bilang aku belum punya peralatan sama sekali ya, namun setelah sebelas tahun, aku harus realistis bahwa semua perlengkapanku yang lama sudah hilang entah kemana. Tahu sendiri khan, aku orangnya “sedikit” teledor untuk hal simpan menyimpan barang.

 Carrier baruku

Pertama dan utama adalah carrier atau backpack alias ransel. Aku dulu punya Carrier 120 liter lengkap dengan matrasnya, yang menemani pendakian terakhirku di Merapi, 2004 lalu. Terakhir aku ingat, tas itu ada di gudang rumah Bogor, namun setelah aku kontak keluarga di Bogor, setelah membongkar semua barang di gudang, barang itu tak ketemu juga. Maka tinggal dua pilihan, pinjam atau beli. Opsi pinjam buru-buru aku coret. Bagaimana kalau rusak, bagaimana kalau sobek. Pertanggungjawaban peminjaman itu terlalu berat bagiku. Akhirnya aku menuju ke satu-satunya Counter Eager di Sentani. Tak banyak pilihan disitu, dan harganya membuat mataku terbelalak.
Sebelum berangkat ke toko, aku menyempatkan diri memeriksa harga di situs resminya Eiger. Perkiraan, harga akan selisih barang 100-200ribu sebagaimana harga barang di Sentani pada umumnya. Tak tahunya harga melonjak lebih dari 2 kali lipat. Carrier kapasitas 45 liter (satu-satunya carrier yang tersedia di toko) di situs resmi dihargai 700ribuan, di toko dibanderol 1,6jutaan. Buseet. Terpaksa saya mundur teratur. Saya akhirnya hanya membeli headlamp, dan glove yang harganya tidak terlalu menggila.
Sesampai di rumah, aku mencoba meyakinkan daftar harga carrier tadi melalui mbah google, dan tak sengaja mbah kita yang baik hati ini mengarahkan aku ke situs komunitas terbesar di Indonesia, www.kaskus.co.id yang salah satu postingannya menawarkan carrier dengan jenis yang sama seharga 500ribu. Langsung saya kontak dan saya pastikan ketersediaan barang. Beruntungnya lagi, orang yang jualan barang tersebut domisilinya di Bogor dan mau mengantar barang sampe rumah. Dan beruntungnya lagi besok ada jadwal pesawat Hercules ke Jayapura sehingga bisa dititip malam ini juga. Sungguh campur tangan Tuhan yang luar biasa.
Peralatan berikutnya yang kuperlukan adalah sleeping bag alias kantung tidur. Sebenarnya ini hal mudah mengingat saya sudah cek ke kantor dan mendapatkan info bahwa di ruang Lambangja, ada dua sleeping bag yang bisa dipakai. Masalahnya adalah, saya mendapatkan tugas menyiapkan sleeping bag sebanyak 15 buah, 8 untuk saya dan team, 7 untuk anak Pramuka Saka Dirgantara yang juga akan ikut pendakian (oh iya, dari 10 perwakilan lanud, ada 2 yang mengundurkan diri). Itu artinya masih kurang 13 kantung tidur lagi.
Aku kontak Kapten Sucipto, salah satu anggota tim yang kebetulan Kepala Gudang, dan mendapatkan info ada 7 sleeping bag di gudang, sehingga total ada 9 sleeping bag yang bisa digunakan. Masih kurang 6 lagi
Aku lalu menghubungi Wadanyon 751 Raider, Mayor Inf Endar Irawan yang kebetulan satu angkatan denganku di Akademi dulu. Wadanyon menyanggupi meminjamkan 5 sleeping bag (terima kasih Wadanyon). Masih kurang 1 lagi, dan aku teringat kalau di Lanud Jayapura ada satu kompi Paskhas yang melaksanakan tugas di Jayapura. Saya menghubungi Komandan Satgas Kapten Psk Adi dan dengan mudah mendapatkan satu pinjaman sleeping bag. Beres.
Barang besar terakhir yang dibutuhkan adalah tenda. Kami dilengkapi dua terpal yang bisa dipakai untuk tenda. Cukup bentangkan tali, gelar terpal diatasnya, pasak di kiri dan kanan, sudah jadi. Tapi apa iya seorang Ekvan akan menggunakan tenda seperti itu? Itu penghinaan bagi kehormatanku hehehe. Akhirnya aku pergi ke Eiger store di Abepura (baru tahu ternyata ada toko Eiger selain yang di Sentani). Tokonya cukup lengkap, disitu saya bisa membeli satu tenda untuk kapasitas 2 orang.

 All set and ready to go

Peralatan-peralatan kecil dengan mudah aku lengkapi, dan akhirnya aku siap mendaki dengan kepercayaan diri.
(bersambung ke bagian 2)



4 komentar:

  1. Jalur pendakian nya lewat mana pak? Boleh cerita jalur pendakian nya.? Tks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Liat di postingan berikutnya expresslife

      Hapus
  2. Abang kren... salam sahabat alam...

    BalasHapus