Kamis, 27 Agustus 2015

Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops (Bagian 2/Hari Pertama)



Catatan: Cerita di bawah adalah semi fiksi. Tokoh didalamnya ada di dunia nyata, namun ada beberapa kejadian yang sedikit menyimpang dari kejadian asli, namun tidak mengurangi inti kejadian yang sebenarnya.


Salam sahabat alam…
“Lapor, apel pemberangkatan Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops 2015 siap dilaksanakan” suaraku membahana di Lapangan Apel Pangkalan TNI AU Jayapura. Apel itu menandai diberangkatkannya ekspedisi 70 Merah putih yang akan menuju ke Puncak Cyclops (2.034 mdpl). Sebagai seorang prajurit, melakukan baris berbaris, melaksanakan penghormatan, ataupun menjadi seorang pemimpin apel adalah hal yang biasa aku lakukan, namun tetap apel kali ini akan menjadi salah satu yang istimewa dan berbeda. Aku memimpin apel nya 56 peserta yang akan mengikuti Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops 2015.


Aku berdiri tegap di tengah lapangan, tepat di depan orang-orang yang nantinya akan melakukan ekspedisi ke Cyclops bersamaku. Di hadapan kami, nampak Bapak Drs. I Nyoman Sucipta (Asisten I Setda Kabupaten Jayapura) yang mengambil apel sedang menyematkan pin dan menyerahkan bendera kontingen kepada salah satu perwakilan peserta.
Selesai apel, Kak Mika, ketua tim ekspedisi, melaksanakan pemeriksaan terakhir kelengkapan peserta berikut atributnya. Aku melihat ke sekeliling, mengamati satu demi satu rekan-rekan pendakian kali ini. Tentu aku ga hapal semua peserta ini, karena sebelum hari ini, kami hanya ketemu pada acara Pra Pendakian minggu lalu, itupun tidak semua peserta ikut. Aku dengan cepat mengenali enam pria yang bercelana loreng, berkaos hitam bertuliskan AURI. Mereka adalah rekan-rekanku perwakilan dari TNI Angkatan Udara yang mengikuti ekspedisi ini (Kapten Kal Sucipto, Kopda Sarifuddin, Pratu Susilo Wijaya, Pratu Christian, Prada Didik Purwadi, Prada Khomsa Dwi P.). Selain mereka, ada beberapa wajah yang cukup familiar dalam benakku.


Yang pertama kukenali adalah Bapak Marshall Suebu, Sang Ketua Club Pecinta Alam (CPA) Hirosi Kab Jayapura. Kami biasa memanggil dia dengan sebutan Pak Ketua. Pria ini nampak masih gagah dan tegap walaupun usianya sudah menginjak kepala empat. Pak ketua juga memiliki Jiwa kepemimpinan yang lumayan. Cara dia memberikan pengarahan, cara dia menatap orang, membuat segan lawan bicaranya. Namun dibalik itu, Pak ketua juga memiliki rasa humor yang cukup besar.

Di samping Pak Ketua, ada seorang bocah berambut kribo. Namanya Ray, dan dia adalah satu-satunya pendaki cilik dalam tim ekspedisi. Usianya 9 tahun, dan masih duduk di kelas 4 SD. Meski pendaki cilik, prestasi bocah ini juga oke banget. Dia adalah pemegang rekor pendaki termuda yang berhasil mencapai puncak Cyclops. Itu dia bukukan dua tahun yang lalu saat dia berusia 7 tahun dan rekor ini masih bertahan sampai sekarang. Ini adalah pendakiannya yang ketiga.

Di sebelah kanan Ray, ada seorang pria dengan tinggi 175an, berbadan tegap dan atletis. Dia adalah Kak Cua, yang datang sebagai wakil dari Jayapura Tiger Motor Club (JTMC). Kak Cua adalah seorang yang humoris. Meski dia tinggi besar, dan seorang bikers, tidak ada kesan galak atau sangar yang muncul. Melihat Kak Cua mengingatkanku pada sosok Tora Sudiro. Tinggi besar, namun kocak.

Di barisan pada ladies, yang pertama aku mengenali Kak Gloria, gadis eksotis berambut curly yang menjabat sebagai bendahara CPA Hirosi. Kak Glo adalah tipikal cewek advonturir sejati. Badannya tegap atletis, senyumnya mahal, namun dibalik itu, masih nampak kefeminiman seorang wanita darinya. Aku sebelumnya sudah beberapa kali rapat dengan Kak Gloria membahas apel pemberangkatan ekspedisi hari ini, namun tetap saja ada suatu batas kuat yang membuat aku tak bisa akrab dengannya. Mungkin dia bukan termasuk orang yang suka bersosial, atau justru aku yang terlalu segan untuk berbicara padanya.

Ladies yang kedua adalah Kak Jo. Cewek satu ini berprofesi sebagai dokter hewan. Aku menduga dia adalah sahabat karib kak Gloria, mengingat mereka seringkali terlihat sedang bersama-sama. Kak Jo orangnya serius, sama seperti Kak Glo. Waktu Pra pendakian kemarin, ketika sebagian besar peserta melaksanakannya dengan hanya bermodalkan ransel kecil berisi air mineral satu botol sedang, Kak Jo adalah satu dari segelintir peserta yang datang full gear. Saat itu, carrier kapasitas 60 liter yang dia bawa nampak penuh dan berat. Dia benar-benar ingin memanfaatkan latihan itu dengan sebaik-baiknya. Dari Pak Ketua, Kak Jo didaulat menjadi seksi kesehatan dalam ekspedisi ini. Please deh Pak Ketua, dokter Hewan jadi tim kesehatan kami? Bapak kira kami barisan kuda pacu kah?

Ada satu lagi cewek yang menarik perhatianku. Bukan hari ini saja, melainkan sejak kegiatan Pra Pendakian minggu lalu. Aku ga tau siapa namanya, namun aku menjulukinya dengan sebutan Si Gadis Aset. Kenapa dia kusebut aset, karena dia memang nampak seperti sebuah barang berharga yang harus dijaga agar tidak lecet atau jatuh. Cewek satu ini memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Kak Jo, ataupun Kak Glo. Badannya kurus kering, paling ga akan sampai 43 kilogram beratnya. Mungkin Carrier 40 liter yang nangkring diatas punggungnya memiliki berat sama dengan tubuhnya. Apa yang menyebabkan anak rumahan seperti dia ikut dalam ekspedisi ini? Namun dari yang kudengar saat pra pendakian, gadis ini sudah pernah mendaki puncak Cartenz, pegunungan paling tinggi dan prestisius di Indonesia. Dia juga pernah mendaki Gunung Kinabalu di Pulau Kalimantan (gunung ini masuk ke dalam wilayah Negara Malaysia dengan ketinggian 4.095 mdpl). Hal yang membuatku semakin penasaran. Apa benar dia bukan anak rumahan biasa? Benarkah dibalik tubuh kurusnya ada kekuatan yang dahsyat? Benarkah dibalik scraft  merah di kepalanya, ada kemauan sekeras baja? Aku akan coba mencari tahu dalam tiga hari ini.
Masih banyak peserta yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu. Ada anak-anak Pramuka Saka Dirgantara, ada beberapa mahasiswa Poltekkes, serta ada pula perwakilan dari pendaki Merauke dan juga Sulawesi.

Tanjakan Aduh Mama
Pukul 09.45, setelah semua prosesi pemberangkatan dan pemeriksaan selesai, mulailah aku bersama tim berangkat menuju arah Gunung Cyclops. Pertama kami menyusuri Jalan Raya Sentani dari Pangkalan TNI AU Jayapura menuju arah Bandara. Di pertigaan sebelum Yonif 751 Raider, kami berbelok ke kanan dan melalui jalan kampung yang masih cukup bagus menuju kaki Gunung Cyclops. Rute yang sangat menyenangkan. Hampir semua mata pengendara yang lewat tertuju ke kami. Kebanggaan kami memuncak. Inilah kami, Tim Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops. Sengaja aku berjalan sendirian, agak jauh dari orang didepanku maupun belakangku. Aku ingin menikmati kebanggaan ini seutuhnya. Kebanggaan semu tentunya, karena aku belum berhasil menuntaskan ekspedisi ini, dan bahkan aku baru mau memulainya.
Medan juang pertama yang kami temui adalah padang ilalang. Rute disini tidak terlalu menanjak, namun sengatan sinar matahari betul-betul terik. Belum lagi tajamnya daun-daun ilalang, dengan ganas mencabik-cabik bagian tubuh kami yang tidak terlindungi, meninggalkan garis merah yang terasa perih saat keringat kami mengalir membasahi luka tersebut.
Selesai menyusuri padang ilalang kami ketemu rute yang cukup nyaman yang disebut Kawasan Labu Siam. Penamaan ini sangat sesuai karena banyaknya perkebunan liar masyarakat yang secara seragam menanam sayuran yang sama, yaitu labu siam. Rute tanjakan yang tidak terlalu curam, dan panas yang sudah berkurang karena semakin rimbunnya pepohonan, menjadikan etape ini sangat menyenangkan. Aku melihat jam tanganku, dan kulihat, waktu menunjukkan pukul 11.45. Ternyata belum ada dua jam aku mendaki, namun kalau rutenya seperti ini, rasa-rasanya ini akan menjadi perjalanan yang mengasyikkan.
Namun sekejab, senyuman di bibirku hilang. Ujian yang sesunguhnya pendakian kali ini telah nampak di hadapanku. Aku kehilangan jejak, jalanan di hadapanku menghilang, begitu pula pendaki yang tadinya ada di depanku. Aku menengok ke belakang, tidak ada rekan pendaki yang nampak, aku sendirian. Aku mencoba mengingat-ingat kata Kak Mika, bahwa rute sudah ditandai dengan tali rafia yang diikatkan di pepohonan. Maka aku mencoba mencari tanda petunjuk tersebut.
Dua puluh meter di hadapanku, nampak seutas tali menggantung. Kudekati dan kuperhatikan, mencoba meyakinkan. Itu bukan tali rafia, itu tali tambang. Kenapa ada tali tambang disini? Lalu aku melihat ada tali rafia berwarna biru terikat di salah satu ranting dekat situ. Berarti ini rutenya? Tapi mana jalannya?
Beruntung di belakangku muncul seorang pendaki. Kalau tidak salah, dia adalah salah satu anak Pak Ketua, kakaknya Ray. Aku tidak tahu namanya.
“Adik, kita su di jalan yang benarkah? Kenapa tidak kelihatan ada jalan?” Aku bertanya pada anak itu.
“Ah, kakak tidak melihat, itu ada tali, kita ikuti tali itu. Kita su sampai di tanjakan Aduh Mama.”
Lalu bocah itu mulai mendaki, setapak demi setapak, dengan kedua tangan berpegangan pada tali tambang tadi. Aku sendiri masih belum hilang rasa terkejutku. Inikah Tanjakan Aduh Mama yang terkenal itu?
Saat Pra Pendakian, Pak Ketua memang sempat menyinggung nama tempat ini. Waktu itu pak Ketua bilang, ini adalah fase dimana orang memutuskan akan melanjutkan pendakian atau kembali. Awalnya aku mengira itu hanya bagian dari motivasi yang diberikan Pak Ketua kepada kami. Namun sepertinya aku salah. Pak Ketua benar-benar menggambarkan dengan tepat kengerian Tanjakan Aduh Mama.
Tanjakan ini memiliki elevasi 70-80 derajat, hampir tegak lurus. Tidak ada jalan yang nampak. Kuduga tanjakan terjal ini tidaklah terlalu panjang. Paling ga akan sampai seratus meter. Kalau tidak, mana mungkin ada tali penolong.
Putra Pak Suebu sudah menghilang di tikungan depan, eh bukan, lebih tepatnya tikungan atas. Karena untuk melihat rute kali ini, aku harus mendongak. Jarakku dan dia mungkin baru 25 meter, namun terlihat sangat jauh. Sehingga aku buru-buru mengejarnya.
Mengira Tanjakan Aduh Mama sebuah rute yang pendek adalah kesalahan keduaku. Memang tali penolong sudah hilang setelah sekitar 50 meter. Tapi itu bukanlah akhir dari tanjakan maut ini. Rupanya tali itu hanyalah pemanis dan penyemangat belaka. Berikutnya aku harus berjuang tanpa bantuan tali, selangkah demi selangkah menggunakan kaki, sesekali lutut. Kedua tanganku menggapai untuk memanfaatkan sulur, akar dan batang pohon sebagai pegangan agar bisa mengangkat tubuhku keatas. Sungguh pantas tanjakan ini disebut Aduh Mama, mengingat para pendaki pasti akan meneriakkan namanya saat mencoba melewati. Namun tentunya hal ini berbeda untuk masing-masing orang.
Aku yakin teman-temanku dari TNI akan lebih setuju kalau nama tanjakan ini adalah tanjakan ampun pelatih, karena kata-kata itulah yang akan keluar dari mulut mereka ketika berusaha melewatinya. Bagi kaum santri, mereka akan menyebut tanjakan dzikir, karena disini mereka akan meneriakkan tahlil, takbir, istighfar dan juga tahmid. Aku sendiri setuju menamainya tanjakan kebun binatang, karena saat mendaki aku akan meneriakkan nama seisi kebun binatang mulai dari ANJ*NG, B**I, dan kawan-kawannya untuk menghilangkan lelah.
Dan parahnya adalah, setelah Tanjakan Aduh Mama ini terlewati, rute yang harus dilewati tidaklah semakin membaik, bahkan semakin parah. Kalau mereka belum memberi nama rute berikutnya tersebut, aku akan dengan senang hati mengusulkan mereka memberi nama tanjakan-tanjakan tersebut tanjakan aduh papa, tanjakan aduh kakak, dan tanjakan aduh adek.
Ampun pelatih…!!!

Mendaki adalah menaklukkan diri sendiri
Sesampai di tanjakan aduh kakak, semangatku menghilang. Aku putus asa. Sendirian, tenaga habis, airpun tak bersisa. Kulepas carrierku, dan kubaringkan tubuh penatku. Aku menimbang-nimbang apa tidak sebaiknya aku kembali saja mumpung belum terlalu jauh. Seandainya disini ada pangkalan ojek, pertimbangan ini akan lebih mudah. Aku akan dengan senang hati membayar mereka untuk mengantarkan ke kamarku yang nyaman.
Kulihat arloji, baru jam 12.30. Pak Ketua pernah bilang, bahwa tahun lalu tim yang pertama kali sampai di puncak tiba pada pukul 16.00. Itu artinya, apabila aku adalah pendaki paling depan atau atas (dan aku yakin 100 persen sudah pasti bukan) dan ingin melanjutkan pendakian ini, masih ada tiga setengah jam lagi perjalanan menghadapi rute gila yang tidak ada habisnya. Rasa-rasanya aku tak akan sanggup.
Aku mengumpat Pak Ketua dalam hati. Ini bukan pendakian pak, ini namanya pembantaian. Aku sudah pernah mendaki banyak gunung di Jawa. Arjuno, Welirang, Merapi, Merbabu, Lawu, Pangrango, Salak semua pernah aku daki. Namun baru kali ini aku menemui rute yang seperti ini. Di tempat lain, seterjal apapun jalan, kita masih bisa berdiri dengan dua kaki, sementara tangan kita bisa berpegangan carrier kita untuk membantu meringankan beban pundak. Disini, kedua kaki, lutut dan tangan harus kita pergunakan untuk melewati jalan. Sungguh rute yang luar biasa ekstrim.
Sudah ada dua kelompok yang menyalipku, namun aku belum juga beranjak dari tempatku. Yang pertama ada dua orang anak Pramuka Saka Dirgantara, kemudian disusul pendaki dari merauke yang tidak kukenal namanya. Mungkin tenagaku sudah pulih, namun mentalku masih sakit. Aku butuh penyemangat. Aku butuh tim hore. Dan rombongan ketiga yang melewatiku adalah jawabannya.
Ada empat orang dalam rombongan ini. Tiga diantaranya adalah rekanku dari TNI Angkatan Udara, Christian, Didik, dan Khomsa. Satu lagi adalah Si Gadis Aset. Rupanya teman-temanku benar-benar menerapkan permintaanku sebelum berangkat untuk menjaga Si Gadis Aset. Aku yakin mereka adalah orang-orang bertenaga kuda, yang bisa mendaki jauh lebih cepat dari si Gadis Aset maupun diriku. Namun melihat kenyataan bahwa mereka berada di belakangku, bersama si Gadis Aset adalah bukti bahwa mereka melaksanakan permintaanku.
“Masih ada air?” tanyaku kepada mereka. Didik mengulurkan botol air mineral yang masih utuh, aku meneguk setengah dari isinya dan mengembalikannya. Mereka sedang melepas ransel untuk beristirahat.
“Gimana aset, aman?” tanyaku kepada mereka. Si Gadis Aset nampak berpikir sambil menatapku. Mungkin dia bertanya-tanya maksud pertanyaanku.
“Siap, aman Ndan. Tangguh dan penuh semangat” Khomsa yang menjawab pertanyaanku. Berarti memang benar gadis ini punya tekad, punya kemauan. Kulihat Cewek berbaju biru itu sedang mengeluarkan bekal dari carrier nya.
“Pos tiga masih jauh tidak ya Ndan, katanya disana ada air. Persediaan air kami habis.” Kali ini Christian yang berbicara. Berarti air yang kuminum tadi adalah air terakhir mereka. Dan aku tak tahu masih berapa jauh pos lima.
“Mungkin sudah dekat, ini khan sudah lewat tengah hari. Kita jalan bersama-sama saja, pelan-pelan. Kalau kalian sudah cukup beristirahat.” Jawabku. Sambil menunggu mereka beristirahat, aku mendekati Si Gadis Aset. Kulihat dia sedang memakan coklat batang, dan kesulitan menelan. Kuambil botol mineral yang masih berisi air seperempat, kuangsurkan kepadanya.
“Terima kasih.” Ucapnya.
“Adik namanya siapa?” Aku mencoba berbasa-basi, sedikit berkenalan dengannya.
“Namaku? Namaku tidak penting, Bapak. Tapi teman-teman aku biasa memanggil aku dengan panggilan Cece. Bapak juga bisa panggil aku Cece” Jawaban yang aneh. Sedikit sombong, namun tidak ada nada tinggi hati dalam jawabannya.
“Baiklah. Cece masih semangat khan?”
“Masih Pak. Malah sepertinya Bapak yang kurang semangat.”
Aku termenung mendengar jawabannya. Jawaban yang tepat menghunjam urat maluku. Seorang gadis yang kukira anak rumahan menyebutku kurang semangat. Bukan sembarang gadis, tapi gadis yang menghadapi medan yang sama beratnya dengan yang kulalui. Aku melirik kearah teman-teman. Kulihat mereka pura-pura tidak mendengar dan menyibukkan diri dengan bawaan mereka.
Namun tidak seharusnya aku tersinggung. Dia benar. Dia sangat benar. Aku lalu teringat wejangan Pak Ketua tentang hakikat pendakian. Menurut Pak Ketua, pendakian bukanlah untuk menaklukkan puncak gunung, bukan untuk mengalahkan alam. Namun pendakian hanyalah sarana untuk mengalahkan diri kita, ego kita, kelemahan kita. Dan disinilah esensi pendakianku diuji. Apakah aku akan kalah dari kelemahanku sendiri dengan tidak melanjutkan, atau aku akan melanjutkan perjuangan mengalahkan diriku ini.
“Memang sih, tadi sempat hilang semangatku karena mendaki sendirian, ga ada teman. Tapi melihat Cece, semangatku sudah balik lagi.” Aku tak mau kalah, mencoba membuat dia balik termenung, atau setidaknya memerah mukanya karena malu. Namun aku kecele.
“Sudah pasti bapak semangat melihat Cece. Teman-teman bapak kalau ga melihat Cece juga sudah hilang semangatnya sejak di bawah tadi. Cece memang tim hore pak, spesialis penyemangat.”
Aku menoleh ke Didik, yang hanya mengangkat bahu. Khomsa dan Christian juga nampaknya ga keberatan dengan kata-kata Cece barusan. Melihat reaksi rekan-rekanku yang hanya terdiam, Aku melihat bahwa keputusanku melanjutkan perjalanan bersama adalah keputusan yang tepat. Inilah tim horeku, inilah penyemangatku.
Sepuluh menit kemudian, kami berlima mulai melanjutkan perjalanan. Cece berada di posisi paling depan, karena ritme dia adalah ritme kami. Dia berjalan perlahan, kami juga perlahan. Dia beristirahat, kami juga berhenti. Hal ini terus berlangsung sepanjang sisa perjalanan.
Rute perjalanan tidak semakin mudah, bahkan semakin sulit. Namun aku merasakan perjalanan ini jauh lebih mudah dan menyenangkan. Mungkin karena kami lebih sering berhenti untuk beristirahat. Atau mungkin karena ada seorang gadis yang bernama Cece yang bersedia menjadi tim hore dan penyemangat kami, menjadi seorang perempuan di sarang penyamun.
Tak berapa lama, kami sudah sampai di Pos 3, tempat dimana kami bisa menemukan air segar untuk minum dan mengisi peples kami masing-masing. Disitu ada dua jerigen yang disiapkan oleh tim pendahulu untuk para peserta mengisi air. Ada sumber air, namun untuk kesana kami harus menuruni tebing dan menyimpang dari rute pendakian.
Setelah kami selesai mengisi bekal air dan minum secukupnya, jerigen yang tadi berisi setengahnya sekarang kosong. Kami bisa saja melanjutkan perjalanan dan membiarkan rekan-rekan di belakang kami yang mengambil air. Dan disinilah Cece Si Gadis Aset kembali mengingatkan hakekat pendakian kepada kami. Bahwa sampai puncak bukanlah tujuan, tetapi mengalahkan ego diri sendirilah yang jadi tujuan.
“Bang, kasihan nanti yang sampe pos ini belakangan kalau kehabisan air. Abang-abang ini khan tentara, fisiknya lebih hebat daripada kami kebanyakan. Masak ga bisa mengambilkan air ke bawah.”
Tak ada bantahan, tak ada debat, Didik dan Khomsa langsung mengambil jerigen tersebut dan menuruni tebing untuk mengambil air. Aku dan Christian menunggu di Pos 3 bersama Cece.
“Abang, aset mau jalan duluan pelan-pelan ya. Nanti susul saja. Kaki Cece kaku kalo berhenti terlalu lama.” Cece beranjak berdiri dan mulai berjalan. Aku kaget bercampur malu. Pertama karena dia nampaknya menyadari kalau dialah aset yang sering kami bicarakan. Yang kedua, dia merubah panggilan dari Pak, menjadi Abang.
“Aset?” Tanyaku berlagak bloon.Apa dia marah sehingga memutuskan berjalan sendirian meninggalkan kami?
“Iya, Cece tahu dan Cece bangga sudah menjadi aset abang-abang AURI.” Dia menjawab sambil terus melangkah, setelah beberapa langkah dia berhenti dan menoleh sambil melemparkan senyum yang sangat manis. Dia ga marah. Kemudian Cece melanjutkan langkahnya.
Seperempat jam kemudian Didik dan Khomsa datang. Pertanyaan pertama mereka sudah bisa ditebak. Mana Cece. Dan mengetahui tim hore sudah berangkat, tanpa beristirahat mereka langsung memakai ransel dan mengajak berangkat.
Hari sudah mulai gelap, kami mengeluarkan senter kami masing-masing. Perjalanan pasti akan jauh lebih sulit di malam hari. Namun dengan berjalan berempat, kecepatan kami meningkat drastis. Dan ternyata, pos terakhir sudah tidak terlalu jauh.
Tepat pukul 18.30, kami akhirnya sampai di Camp. Energiku habis. Aku hanya bisa mendirikan tenda, lalu masuk dan langsung tertidur. Sungguh-sungguh perjalanan yang luar biasa melelahkan.
(Bersambung ke hari kedua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar