Salam sahabat alam…
Hari itu, Jumat, 14 Agustus 2015 menjadi hari yang sangat
bersejarah bagi diriku. Hari dimana aku akan melaksanakan kegiatan yang pernah dan
masih sangat aku sukai. Advonturir, hiking,
dan berpetualang. Ya, selama tiga hari, aku akan bergabung dalam sebuah
kegiatan bertajuk Ekspedisi 70 Merah Putih yang akan
menuju puncak tertinggi di Kabupaten Jayapura, Gunung Cyclop. Membayangkannya
saja aku sudah merasa 15 tahun lebih “pucuk” (baca muda).
Kegiatan ini digagas oleh
Club Pecinta Alam (CPA) Hirosi Papua dan didukung penuh oleh Lanud Jayapura,
kantorku. Siapa dan seperti apa CPA Hirosi akan saya ceritakan di tulisan
tersendiri, karena tidak adil rasanya jika aku hanya menceritakannya dalam satu
paragraf setelah banyaknya hal menakjubkan yang kudengar selama tiga hari kami
berinteraksi dengan organisasi hebat ini.
Kegiatan ini dilaksanakan
dalam rangka menyambut HUT RI yang ke 70 dan mengambil tema Menuju Generasi
Bebas Romina (Rokok, Miras dan Narkotika). Tema yang sangat luar biasa
mengingat selama ini para pecinta alam identik dengan hal-hal tersebut diatas.
Untuk mewadahi besarnya semangatku akan pendakian ini, kisah ini akan kubagi dalam dua bagian.
Persiapan pendakian dan pendakian itu sendiri. Ini untuk mencegah adanya
kebosanan dengan cerita yang sangat panjang dan bertele-tele. Maaf kalau aku
bertele-tele, karena aku menganggap semua penting, sehingga tak mampu
melewatkannya dalam tulisan.
Pra Pendakian
Cerita ini berawal pada Akhir
Juli, awal-awal masuk kantor setelah libur lebaran. Ada informasi kepada
anggota Lanud Jayapura yang disanpaikan pada saat apel pagi, bahwa akan
dilaksanakan sebuah ekspedisi ke puncak cyclops, dan personel yang berminat
ikut pendakian ke Puncak Cyclop diijinkan untuk ikut. Aku sangat bersemangat
mendengar berita ini. Sejak pindah ke Sentani Jayapura April lalu, sering aku
menatap Puncak Cyclops di depan kantor sambil membayangkan aku berada di puncak
tertinggi Sentani tersebut. Hal inilah yang menjadikanku menjadi orang pertama
yang mengajukan diri, dan akhirnya bergabung bersama 9 personel lainnya menjadi
perwakilan Lanud Jayapura pada kegiatan tersebut.
Gunung Cyclops nampak dari halaman kantor Lanud Jayapura
Kegiatan pertama yang kami
ikuti adalah pra pendakian II. Suatu tahap latihan yang bertujuan membiasakan
para peserta menghadapi rute pendakian nantinya. Saya tentu sangat senang
dengan adanya latihan ini, dan sedikit menyesal tidak bisa mengikuti pra
pendakian pertama. Bagaimana tidak, saya terakhir kali mendaki gunung adalah
sebelas tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2004. Saat itu aku bersama
beberapa rekan menikmati indahnya sunrise di puncak Gunung Merapi Yogyakarta.
Salah satu kegiatan pra pendakian II
Kegiatan ini dilaksanakan
pada Hari Minggu tanggal 5 Agustus 2015 di perbukitan yang ada di kaki gunung
cyclop, tepatnya di belakang perkantoran Kabupaten Jayapura. Kami berkumpul di
kantor CPA Hirosi Papua bersama peserta lainnya. Dan ternyata, bukan hanya
wajah-wajah keras bercambang yang kami temui dalam latihan ini, namun adapula
beberapa gadis tangguh yang menjadi peserta (#colek srikandi belantara). Jadi
makin semangat nih, latihannya hehehe…
Srikandi belantara, tim hore pendakian kali ini
Setelah mendengar pengarahan
dari Ketua Tim Pendakian Michael Rumbarar (Kak Mika), kami menyusuri jalan
setapak dari CPA Hirosi menuju belakang Kantor Bupati Jayapura, dilanjutkan
menuju bukit pertama. Perjalanan semakin lama semakin menantang, dengan medan
yang semakin sulit. Dan akhirnya, setelah lebih kurang 3 jam perjalanan, kami
tiba juga di ujung perjalanan di CPA Hirosi.
Salah satu medan pra pendakian
Selain sebagai sarana
latihan, Pra Pendakian juga merupakan ajang saling kenal antara peserta dan
juga panitia. Disini pertama kalinya aku ketemu dengan Ketua CPA Hirosi Papua
Pak Marshall Suebu, Bendahara CPA Hirosi Kak Gloria, Pendaki cilik Ray yang tak
lain putra pak ketua CPA, Sang Srikandi Belantara, Kak Jo yang didaulat menjadi seksi kesehatan (padahal Kak Jo ini adalah seorang dokter hewan hahaha..), Kak Cua dari Jayapura Tiger
Motor Club (JTMC) yang bertubuh tinggi besar tapi sangat suka bercanda, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ajang pra pendakian juga
menjadi tempat koordinasi dan pengarahan mengenai apa-apa saja yang harus
disiapkan oleh masing-masing peserta, dan ini yang membuatku sadar, banyak
perlengkapan pendakian yang belum tersedia untukku.
Hoela Brotherhood
Satu hal kecil namun penting
adalah masalah identitas. Memang dalam pendakian nanti aku adalah seorang
tentara berpangkat kapten yang bertindak sebagai salah satu personel Lanud
Jayapura yang berangkat mewakili Instansiku bersama 6 rekanku yang lain. Memang
nanti tim kami membawa bendera Lanud Jayapura sebesar 8X6 meter persegi untuk
dikibarkan di Puncak Cyclops.
Namun sebagai personal, aku
harus menunjukkan jati diriku. Aku harus menunjukkan bahwa aku adalah Ekvan, dan
Ekvan adalah Kawoel. Dan cara terbaik menunjukkannya adalah dengan membawa
sebuah bendera, yang bisa menunjukkan siapa diriku.
Saat pra pendakian, aku
sudah melihat, bendera2 yang dipersiapkan rean-rekan pendakian. Ada bendera saka
dirgantara yang dibawa anak-anak Pramuka, ada bendera klub motor, Club pecinta
alam, Himpunan Mahasiswa, dan lain-lain. Maka aku juga akan membuat bendera
kebangsaanku. Yang menunjukkan siapa diriku. Dan tidak perlu banyak
pertimbangan, aku memutuskan akan membuat dan membawa bendera Hoela.
Bendera Hoela, Anda Smada kita saudara, Anda Hoela kita kanca
Apa itu Hoela? Sedikit susah
menjelaskan apa itu Hoela. Kalau anda bertanya kepada Alumni SMA Negeri 2
Kediri tahun 2000 tentang Hoela, mereka akan dengan mudah menjelaskan apa itu
Hoela. Para ladies akan menyebut bahwa Hoela itu adalah sekumpulan anak cowok
yang keren tapi urakan, kreatif tapi bandel, atau bahasa singkatnya sekumpulan
anak yang gaul banget. Namun para alay akan bilang bahwa Hoela adalah kelompok
remaja nakal yang susah diatur, troublemaker, dan brengsek. Sementara bagi para
bapak ibu pengajar kami, Hoela adalah anak2 yang sangat mereka sayangi dan
pedulikan sehingga seringkali beberapa diantara kami diajak ngobrol di kantor BP, di
ruang guru, bahkan di tengah lapangan. Tak jarang kami harus ditemani orang tua
kami karena bahan obrolan yang cukup serius, hehehe.
Namun untuk menjelaskan ke
orang awam, aku rasa cukup dengan kata Hoela itu kumpulan teman terbaikku saat
SMA sampai dengan saat ini. Kami mungkin sudah terpisahkan jarak dan waktu,
namun hal itu tidak mengurangi kedekatan dan keakraban kami. Hoelaers sekarang
tersebar dari sabang sampai merauke, bahkan sampai ke Suriname. Ada yang jadi
tentara, polisi, PNS, Karyawan swasta, sampai pengusaha. Kami menjalani hidup
kami masing-masing tanpa melupakan rekan seperjuangan kami di dalam Hoela. Kami
masih bisa merasakan sakit ketika salah satu dari kami terluka. Kami masih bisa
tersinggung ketika ada orang lain yang melukai perasaan salah satu dari kami.
Lulusan SMA Negeri 2 bisa bilang Anda Smada kita saudara, dan kami akan dengan
bangga menambahkan, Anda Smada kita saudara, Anda Hoela kita kanca. Kanca itu
sahabat, kata yang bermakna lebih dari sekedar saudara, sekedar teman.
Berasa ABG lagi...
Juragan petasan, sang perancang logo Hoela
Berburu Peralatan
Mendaki gunung tanpa
peralatan sama saja mandi tanpa sabun, keramas tanpa shampoo, atau sikat gigi
tanpa odol. Bisa tapi tidak akan maksimal hasilnya. Untuk itulah aku mulai berhitung
darimana akan melengkapi peralatanku. Jangan bilang aku belum punya peralatan sama
sekali ya, namun setelah sebelas tahun, aku harus realistis bahwa semua
perlengkapanku yang lama sudah hilang entah kemana. Tahu sendiri khan, aku
orangnya “sedikit” teledor untuk hal simpan menyimpan barang.
Carrier baruku
Pertama dan utama adalah
carrier atau backpack alias ransel. Aku dulu punya Carrier 120 liter lengkap
dengan matrasnya, yang menemani pendakian terakhirku di Merapi, 2004 lalu. Terakhir
aku ingat, tas itu ada di gudang rumah Bogor, namun setelah aku kontak keluarga
di Bogor, setelah membongkar semua barang di gudang, barang itu tak ketemu
juga. Maka tinggal dua pilihan, pinjam atau beli. Opsi pinjam buru-buru aku
coret. Bagaimana kalau rusak, bagaimana kalau sobek. Pertanggungjawaban
peminjaman itu terlalu berat bagiku. Akhirnya aku menuju ke satu-satunya
Counter Eager di Sentani. Tak banyak pilihan disitu, dan harganya membuat
mataku terbelalak.
Sebelum berangkat ke toko, aku
menyempatkan diri memeriksa harga di situs resminya Eiger. Perkiraan, harga
akan selisih barang 100-200ribu sebagaimana harga barang di Sentani pada
umumnya. Tak tahunya harga melonjak lebih dari 2 kali lipat. Carrier kapasitas
45 liter (satu-satunya carrier yang tersedia di toko) di situs resmi dihargai
700ribuan, di toko dibanderol 1,6jutaan. Buseet. Terpaksa saya mundur teratur. Saya
akhirnya hanya membeli headlamp, dan glove yang harganya tidak terlalu
menggila.
Sesampai di rumah, aku
mencoba meyakinkan daftar harga carrier tadi melalui mbah google, dan tak
sengaja mbah kita yang baik hati ini mengarahkan aku ke situs komunitas terbesar
di Indonesia, www.kaskus.co.id
yang salah satu postingannya menawarkan carrier dengan jenis yang sama seharga
500ribu. Langsung saya kontak dan saya pastikan ketersediaan barang.
Beruntungnya lagi, orang yang jualan barang tersebut domisilinya di Bogor dan
mau mengantar barang sampe rumah. Dan beruntungnya lagi besok ada jadwal
pesawat Hercules ke Jayapura sehingga bisa dititip malam ini juga. Sungguh
campur tangan Tuhan yang luar biasa.
Peralatan berikutnya yang
kuperlukan adalah sleeping bag alias kantung tidur. Sebenarnya ini hal mudah mengingat
saya sudah cek ke kantor dan mendapatkan info bahwa di ruang Lambangja, ada dua
sleeping bag yang bisa dipakai. Masalahnya adalah, saya mendapatkan tugas
menyiapkan sleeping bag sebanyak 15 buah, 8 untuk saya dan team, 7 untuk anak
Pramuka Saka Dirgantara yang juga akan ikut pendakian (oh iya, dari 10
perwakilan lanud, ada 2 yang mengundurkan diri). Itu artinya masih kurang 13
kantung tidur lagi.
Aku kontak Kapten Sucipto,
salah satu anggota tim yang kebetulan Kepala Gudang, dan mendapatkan info ada 7
sleeping bag di gudang, sehingga total ada 9 sleeping bag yang bisa digunakan.
Masih kurang 6 lagi
Aku lalu menghubungi
Wadanyon 751 Raider, Mayor Inf Endar Irawan yang kebetulan satu angkatan
denganku di Akademi dulu. Wadanyon menyanggupi meminjamkan 5 sleeping bag
(terima kasih Wadanyon). Masih kurang 1 lagi, dan aku teringat kalau di Lanud
Jayapura ada satu kompi Paskhas yang melaksanakan tugas di Jayapura. Saya
menghubungi Komandan Satgas Kapten Psk Adi dan dengan mudah mendapatkan satu
pinjaman sleeping bag. Beres.
Barang besar terakhir yang
dibutuhkan adalah tenda. Kami dilengkapi dua terpal yang bisa dipakai untuk
tenda. Cukup bentangkan tali, gelar terpal diatasnya, pasak di kiri dan kanan,
sudah jadi. Tapi apa iya seorang Ekvan akan menggunakan tenda seperti itu? Itu
penghinaan bagi kehormatanku hehehe. Akhirnya aku pergi ke Eiger store di
Abepura (baru tahu ternyata ada toko Eiger selain yang di Sentani). Tokonya
cukup lengkap, disitu saya bisa membeli satu tenda untuk kapasitas 2 orang.
All set and ready to go
Peralatan-peralatan kecil
dengan mudah aku lengkapi, dan akhirnya aku siap mendaki dengan kepercayaan
diri.
4 komentar:
Jalur pendakian nya lewat mana pak? Boleh cerita jalur pendakian nya.? Tks
Kapan2 buat lagi dong pak...
Abang kren... salam sahabat alam...
Liat di postingan berikutnya expresslife
Posting Komentar