Catatan: Cerita di bawah
adalah semi fiksi. Tokoh didalamnya ada di dunia nyata, namun ada beberapa
kejadian yang sedikit menyimpang dari kejadian asli, namun tidak mengurangi
inti kejadian yang sebenarnya.
Salam sahabat alam…
“Lapor, apel pemberangkatan
Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops 2015 siap dilaksanakan” suaraku membahana di Lapangan
Apel Pangkalan TNI AU Jayapura. Apel itu menandai diberangkatkannya ekspedisi
70 Merah putih yang akan menuju ke Puncak Cyclops (2.034 mdpl). Sebagai seorang
prajurit, melakukan baris berbaris, melaksanakan penghormatan, ataupun menjadi
seorang pemimpin apel adalah hal yang biasa aku lakukan, namun tetap apel kali
ini akan menjadi salah satu yang istimewa dan berbeda. Aku memimpin apel nya 56
peserta yang akan mengikuti Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops 2015.
Aku berdiri tegap di tengah
lapangan, tepat di depan orang-orang yang nantinya akan melakukan ekspedisi ke
Cyclops bersamaku. Di hadapan kami, nampak Bapak Drs. I Nyoman Sucipta (Asisten
I Setda Kabupaten Jayapura) yang mengambil apel sedang menyematkan pin dan
menyerahkan bendera kontingen kepada salah satu perwakilan peserta.
Selesai apel, Kak Mika,
ketua tim ekspedisi, melaksanakan pemeriksaan terakhir kelengkapan peserta
berikut atributnya. Aku melihat ke sekeliling, mengamati satu demi satu
rekan-rekan pendakian kali ini. Tentu aku ga hapal semua peserta ini, karena
sebelum hari ini, kami hanya ketemu pada acara Pra Pendakian minggu lalu,
itupun tidak semua peserta ikut. Aku dengan cepat mengenali enam pria yang
bercelana loreng, berkaos hitam bertuliskan AURI. Mereka adalah rekan-rekanku
perwakilan dari TNI Angkatan Udara yang mengikuti ekspedisi ini (Kapten Kal
Sucipto, Kopda Sarifuddin, Pratu Susilo Wijaya, Pratu Christian, Prada Didik
Purwadi, Prada Khomsa Dwi P.). Selain mereka, ada beberapa wajah yang cukup
familiar dalam benakku.
Yang pertama kukenali adalah
Bapak Marshall Suebu, Sang Ketua Club Pecinta Alam (CPA) Hirosi Kab Jayapura. Kami
biasa memanggil dia dengan sebutan Pak Ketua. Pria ini nampak masih gagah dan
tegap walaupun usianya sudah menginjak kepala empat. Pak ketua juga memiliki
Jiwa kepemimpinan yang lumayan. Cara dia memberikan pengarahan, cara dia
menatap orang, membuat segan lawan bicaranya. Namun dibalik itu, Pak ketua juga
memiliki rasa humor yang cukup besar.
Di samping Pak Ketua, ada
seorang bocah berambut kribo. Namanya Ray, dan dia adalah satu-satunya pendaki
cilik dalam tim ekspedisi. Usianya 9 tahun, dan masih duduk di kelas 4 SD.
Meski pendaki cilik, prestasi bocah ini juga oke banget. Dia adalah pemegang
rekor pendaki termuda yang berhasil mencapai puncak Cyclops. Itu dia bukukan
dua tahun yang lalu saat dia berusia 7 tahun dan rekor ini masih bertahan
sampai sekarang. Ini adalah pendakiannya yang ketiga.
Di sebelah kanan Ray, ada
seorang pria dengan tinggi 175an, berbadan tegap dan atletis. Dia adalah Kak
Cua, yang datang sebagai wakil dari Jayapura Tiger Motor Club (JTMC). Kak Cua
adalah seorang yang humoris. Meski dia tinggi besar, dan seorang bikers, tidak
ada kesan galak atau sangar yang muncul. Melihat Kak Cua mengingatkanku pada
sosok Tora Sudiro. Tinggi besar, namun kocak.
Di barisan pada ladies, yang
pertama aku mengenali Kak Gloria, gadis eksotis berambut curly yang menjabat
sebagai bendahara CPA Hirosi. Kak Glo adalah tipikal cewek advonturir sejati.
Badannya tegap atletis, senyumnya mahal, namun dibalik itu, masih nampak
kefeminiman seorang wanita darinya. Aku sebelumnya sudah beberapa kali rapat
dengan Kak Gloria membahas apel pemberangkatan ekspedisi hari ini, namun tetap
saja ada suatu batas kuat yang membuat aku tak bisa akrab dengannya. Mungkin
dia bukan termasuk orang yang suka bersosial, atau justru aku yang terlalu
segan untuk berbicara padanya.
Ladies yang kedua adalah Kak
Jo. Cewek satu ini berprofesi sebagai dokter hewan. Aku menduga dia adalah
sahabat karib kak Gloria, mengingat mereka seringkali terlihat sedang
bersama-sama. Kak Jo orangnya serius, sama seperti Kak Glo. Waktu Pra pendakian
kemarin, ketika sebagian besar peserta melaksanakannya dengan hanya bermodalkan
ransel kecil berisi air mineral satu botol sedang, Kak Jo adalah satu dari
segelintir peserta yang datang full gear.
Saat itu, carrier kapasitas 60 liter yang dia bawa nampak penuh dan berat. Dia benar-benar
ingin memanfaatkan latihan itu dengan sebaik-baiknya. Dari Pak Ketua, Kak Jo
didaulat menjadi seksi kesehatan dalam ekspedisi ini. Please deh Pak Ketua,
dokter Hewan jadi tim kesehatan kami? Bapak kira kami barisan kuda pacu kah?
Ada satu lagi cewek yang
menarik perhatianku. Bukan hari ini saja, melainkan sejak kegiatan Pra
Pendakian minggu lalu. Aku ga tau siapa namanya, namun aku menjulukinya dengan
sebutan Si Gadis Aset. Kenapa dia kusebut aset, karena dia memang nampak
seperti sebuah barang berharga yang harus dijaga agar tidak lecet atau jatuh.
Cewek satu ini memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Kak Jo,
ataupun Kak Glo. Badannya kurus kering, paling ga akan sampai 43 kilogram
beratnya. Mungkin Carrier 40 liter yang nangkring diatas punggungnya memiliki
berat sama dengan tubuhnya. Apa yang menyebabkan anak rumahan seperti dia ikut
dalam ekspedisi ini? Namun dari yang kudengar saat pra pendakian, gadis ini
sudah pernah mendaki puncak Cartenz, pegunungan paling tinggi dan prestisius di
Indonesia. Dia juga pernah mendaki Gunung Kinabalu di Pulau Kalimantan (gunung
ini masuk ke dalam wilayah Negara Malaysia dengan ketinggian 4.095 mdpl). Hal
yang membuatku semakin penasaran. Apa benar dia bukan anak rumahan biasa? Benarkah
dibalik tubuh kurusnya ada kekuatan yang dahsyat? Benarkah dibalik scraft merah di kepalanya, ada kemauan sekeras baja?
Aku akan coba mencari tahu dalam tiga hari ini.
Masih banyak peserta yang
tidak dapat aku sebutkan satu persatu. Ada anak-anak Pramuka Saka Dirgantara,
ada beberapa mahasiswa Poltekkes, serta ada pula perwakilan dari pendaki
Merauke dan juga Sulawesi.
Tanjakan Aduh Mama
Pukul 09.45, setelah semua
prosesi pemberangkatan dan pemeriksaan selesai, mulailah aku bersama tim
berangkat menuju arah Gunung Cyclops. Pertama kami menyusuri Jalan Raya Sentani
dari Pangkalan TNI AU Jayapura menuju arah Bandara. Di pertigaan sebelum Yonif
751 Raider, kami berbelok ke kanan dan melalui jalan kampung yang masih cukup
bagus menuju kaki Gunung Cyclops. Rute yang sangat menyenangkan. Hampir semua
mata pengendara yang lewat tertuju ke kami. Kebanggaan kami memuncak. Inilah
kami, Tim Ekspedisi 70 Merah Putih Cyclops. Sengaja aku berjalan sendirian,
agak jauh dari orang didepanku maupun belakangku. Aku ingin menikmati
kebanggaan ini seutuhnya. Kebanggaan semu tentunya, karena aku belum berhasil
menuntaskan ekspedisi ini, dan bahkan aku baru mau memulainya.
Medan juang pertama yang
kami temui adalah padang ilalang. Rute disini tidak terlalu menanjak, namun
sengatan sinar matahari betul-betul terik. Belum lagi tajamnya daun-daun
ilalang, dengan ganas mencabik-cabik bagian tubuh kami yang tidak terlindungi, meninggalkan
garis merah yang terasa perih saat keringat kami mengalir membasahi luka
tersebut.
Selesai menyusuri padang
ilalang kami ketemu rute yang cukup nyaman yang disebut Kawasan Labu Siam.
Penamaan ini sangat sesuai karena banyaknya perkebunan liar masyarakat yang
secara seragam menanam sayuran yang sama, yaitu labu siam. Rute tanjakan yang tidak
terlalu curam, dan panas yang sudah berkurang karena semakin rimbunnya
pepohonan, menjadikan etape ini sangat menyenangkan. Aku melihat jam tanganku,
dan kulihat, waktu menunjukkan pukul 11.45. Ternyata belum ada dua jam aku
mendaki, namun kalau rutenya seperti ini, rasa-rasanya ini akan menjadi
perjalanan yang mengasyikkan.
Namun sekejab, senyuman di
bibirku hilang. Ujian yang sesunguhnya pendakian kali ini telah nampak di
hadapanku. Aku kehilangan jejak, jalanan di hadapanku menghilang, begitu pula pendaki
yang tadinya ada di depanku. Aku menengok ke belakang, tidak ada rekan pendaki
yang nampak, aku sendirian. Aku mencoba mengingat-ingat kata Kak Mika, bahwa
rute sudah ditandai dengan tali rafia yang diikatkan di pepohonan. Maka aku
mencoba mencari tanda petunjuk tersebut.
Dua puluh meter di
hadapanku, nampak seutas tali menggantung. Kudekati dan kuperhatikan, mencoba
meyakinkan. Itu bukan tali rafia, itu tali tambang. Kenapa ada tali tambang
disini? Lalu aku melihat ada tali rafia berwarna biru terikat di salah satu
ranting dekat situ. Berarti ini rutenya? Tapi mana jalannya?
Beruntung di belakangku
muncul seorang pendaki. Kalau tidak salah, dia adalah salah satu anak Pak
Ketua, kakaknya Ray. Aku tidak tahu namanya.
“Adik, kita su di jalan yang
benarkah? Kenapa tidak kelihatan ada jalan?” Aku bertanya pada anak itu.
“Ah, kakak tidak melihat,
itu ada tali, kita ikuti tali itu. Kita su sampai di tanjakan Aduh Mama.”
Lalu bocah itu mulai
mendaki, setapak demi setapak, dengan kedua tangan berpegangan pada tali
tambang tadi. Aku sendiri masih belum hilang rasa terkejutku. Inikah Tanjakan
Aduh Mama yang terkenal itu?
Saat Pra Pendakian, Pak
Ketua memang sempat menyinggung nama tempat ini. Waktu itu pak Ketua bilang,
ini adalah fase dimana orang memutuskan akan melanjutkan pendakian atau
kembali. Awalnya aku mengira itu hanya bagian dari motivasi yang diberikan Pak
Ketua kepada kami. Namun sepertinya aku salah. Pak Ketua benar-benar
menggambarkan dengan tepat kengerian Tanjakan Aduh Mama.
Tanjakan ini memiliki
elevasi 70-80 derajat, hampir tegak lurus. Tidak ada jalan yang nampak. Kuduga
tanjakan terjal ini tidaklah terlalu panjang. Paling ga akan sampai seratus
meter. Kalau tidak, mana mungkin ada tali penolong.
Putra Pak Suebu sudah
menghilang di tikungan depan, eh bukan, lebih tepatnya tikungan atas. Karena
untuk melihat rute kali ini, aku harus mendongak. Jarakku dan dia mungkin baru
25 meter, namun terlihat sangat jauh. Sehingga aku buru-buru mengejarnya.
Mengira Tanjakan Aduh Mama sebuah
rute yang pendek adalah kesalahan keduaku. Memang tali penolong sudah hilang
setelah sekitar 50 meter. Tapi itu bukanlah akhir dari tanjakan maut ini.
Rupanya tali itu hanyalah pemanis dan penyemangat belaka. Berikutnya aku harus
berjuang tanpa bantuan tali, selangkah demi selangkah menggunakan kaki,
sesekali lutut. Kedua tanganku menggapai untuk memanfaatkan sulur, akar dan
batang pohon sebagai pegangan agar bisa mengangkat tubuhku keatas. Sungguh
pantas tanjakan ini disebut Aduh Mama, mengingat para pendaki pasti akan
meneriakkan namanya saat mencoba melewati. Namun tentunya hal ini berbeda untuk
masing-masing orang.
Aku yakin teman-temanku dari
TNI akan lebih setuju kalau nama tanjakan ini adalah tanjakan ampun pelatih,
karena kata-kata itulah yang akan keluar dari mulut mereka ketika berusaha
melewatinya. Bagi kaum santri, mereka akan menyebut tanjakan dzikir, karena
disini mereka akan meneriakkan tahlil, takbir, istighfar dan juga tahmid. Aku
sendiri setuju menamainya tanjakan kebun binatang, karena saat mendaki aku akan
meneriakkan nama seisi kebun binatang mulai dari ANJ*NG, B**I, dan
kawan-kawannya untuk menghilangkan lelah.
Dan parahnya adalah, setelah
Tanjakan Aduh Mama ini terlewati, rute yang harus dilewati tidaklah semakin
membaik, bahkan semakin parah. Kalau mereka belum memberi nama rute berikutnya
tersebut, aku akan dengan senang hati mengusulkan mereka memberi nama
tanjakan-tanjakan tersebut tanjakan aduh papa, tanjakan aduh kakak, dan
tanjakan aduh adek.
Ampun pelatih…!!!
Mendaki adalah menaklukkan
diri sendiri
Sesampai di tanjakan aduh
kakak, semangatku menghilang. Aku putus asa. Sendirian, tenaga habis, airpun
tak bersisa. Kulepas carrierku, dan kubaringkan tubuh penatku. Aku menimbang-nimbang
apa tidak sebaiknya aku kembali saja mumpung belum terlalu jauh. Seandainya
disini ada pangkalan ojek, pertimbangan ini akan lebih mudah. Aku akan dengan
senang hati membayar mereka untuk mengantarkan ke kamarku yang nyaman.
Kulihat arloji, baru jam 12.30.
Pak Ketua pernah bilang, bahwa tahun lalu tim yang pertama kali sampai di
puncak tiba pada pukul 16.00. Itu artinya, apabila aku adalah pendaki paling
depan atau atas (dan aku yakin 100 persen sudah pasti bukan) dan ingin
melanjutkan pendakian ini, masih ada tiga setengah jam lagi perjalanan
menghadapi rute gila yang tidak ada habisnya. Rasa-rasanya aku tak akan sanggup.
Aku mengumpat Pak Ketua
dalam hati. Ini bukan pendakian pak, ini namanya pembantaian. Aku sudah pernah
mendaki banyak gunung di Jawa. Arjuno, Welirang, Merapi, Merbabu, Lawu, Pangrango,
Salak semua pernah aku daki. Namun baru kali ini aku menemui rute yang seperti
ini. Di tempat lain, seterjal apapun jalan, kita masih bisa berdiri dengan dua
kaki, sementara tangan kita bisa berpegangan carrier kita untuk membantu
meringankan beban pundak. Disini, kedua kaki, lutut dan tangan harus kita
pergunakan untuk melewati jalan. Sungguh rute yang luar biasa ekstrim.
Sudah ada dua kelompok yang menyalipku,
namun aku belum juga beranjak dari tempatku. Yang pertama ada dua orang anak
Pramuka Saka Dirgantara, kemudian disusul pendaki dari merauke yang tidak
kukenal namanya. Mungkin tenagaku sudah pulih, namun mentalku masih sakit. Aku
butuh penyemangat. Aku butuh tim hore. Dan rombongan ketiga yang melewatiku
adalah jawabannya.
Ada empat orang dalam rombongan
ini. Tiga diantaranya adalah rekanku dari TNI Angkatan Udara, Christian, Didik,
dan Khomsa. Satu lagi adalah Si Gadis Aset. Rupanya teman-temanku benar-benar
menerapkan permintaanku sebelum berangkat untuk menjaga Si Gadis Aset. Aku
yakin mereka adalah orang-orang bertenaga kuda, yang bisa mendaki jauh lebih
cepat dari si Gadis Aset maupun diriku. Namun melihat kenyataan bahwa mereka
berada di belakangku, bersama si Gadis Aset adalah bukti bahwa mereka
melaksanakan permintaanku.
“Masih ada air?” tanyaku
kepada mereka. Didik mengulurkan botol air mineral yang masih utuh, aku meneguk
setengah dari isinya dan mengembalikannya. Mereka sedang melepas ransel untuk
beristirahat.
“Gimana aset, aman?” tanyaku
kepada mereka. Si Gadis Aset nampak berpikir sambil menatapku. Mungkin dia
bertanya-tanya maksud pertanyaanku.
“Siap, aman Ndan. Tangguh
dan penuh semangat” Khomsa yang menjawab pertanyaanku. Berarti memang benar gadis
ini punya tekad, punya kemauan. Kulihat Cewek berbaju biru itu sedang
mengeluarkan bekal dari carrier nya.
“Pos tiga masih jauh tidak
ya Ndan, katanya disana ada air. Persediaan air kami habis.” Kali ini Christian
yang berbicara. Berarti air yang kuminum tadi adalah air terakhir mereka. Dan
aku tak tahu masih berapa jauh pos lima.
“Mungkin sudah dekat, ini khan
sudah lewat tengah hari. Kita jalan bersama-sama saja, pelan-pelan. Kalau
kalian sudah cukup beristirahat.” Jawabku. Sambil menunggu mereka beristirahat,
aku mendekati Si Gadis Aset. Kulihat dia sedang memakan coklat batang, dan
kesulitan menelan. Kuambil botol mineral yang masih berisi air seperempat,
kuangsurkan kepadanya.
“Terima kasih.” Ucapnya.
“Adik namanya siapa?” Aku
mencoba berbasa-basi, sedikit berkenalan dengannya.
“Namaku? Namaku tidak
penting, Bapak. Tapi teman-teman aku biasa memanggil aku dengan panggilan Cece.
Bapak juga bisa panggil aku Cece” Jawaban yang aneh. Sedikit sombong, namun
tidak ada nada tinggi hati dalam jawabannya.
“Baiklah. Cece masih
semangat khan?”
“Masih Pak. Malah sepertinya
Bapak yang kurang semangat.”
Aku termenung mendengar
jawabannya. Jawaban yang tepat menghunjam urat maluku. Seorang gadis yang
kukira anak rumahan menyebutku kurang semangat. Bukan sembarang gadis, tapi
gadis yang menghadapi medan yang sama beratnya dengan yang kulalui. Aku melirik
kearah teman-teman. Kulihat mereka pura-pura tidak mendengar dan menyibukkan
diri dengan bawaan mereka.
Namun tidak seharusnya aku
tersinggung. Dia benar. Dia sangat benar. Aku lalu teringat wejangan Pak Ketua
tentang hakikat pendakian. Menurut Pak Ketua, pendakian bukanlah untuk
menaklukkan puncak gunung, bukan untuk mengalahkan alam. Namun pendakian
hanyalah sarana untuk mengalahkan diri kita, ego kita, kelemahan kita. Dan
disinilah esensi pendakianku diuji. Apakah aku akan kalah dari kelemahanku
sendiri dengan tidak melanjutkan, atau aku akan melanjutkan perjuangan
mengalahkan diriku ini.
“Memang sih, tadi sempat
hilang semangatku karena mendaki sendirian, ga ada teman. Tapi melihat Cece,
semangatku sudah balik lagi.” Aku tak mau kalah, mencoba membuat dia balik
termenung, atau setidaknya memerah mukanya karena malu. Namun aku kecele.
“Sudah pasti bapak semangat
melihat Cece. Teman-teman bapak kalau ga melihat Cece juga sudah hilang
semangatnya sejak di bawah tadi. Cece memang tim hore pak, spesialis
penyemangat.”
Aku menoleh ke Didik, yang
hanya mengangkat bahu. Khomsa dan Christian juga nampaknya ga keberatan dengan
kata-kata Cece barusan. Melihat reaksi rekan-rekanku yang hanya terdiam, Aku melihat
bahwa keputusanku melanjutkan perjalanan bersama adalah keputusan yang tepat. Inilah
tim horeku, inilah penyemangatku.
Sepuluh menit kemudian, kami
berlima mulai melanjutkan perjalanan. Cece berada di posisi paling depan,
karena ritme dia adalah ritme kami. Dia berjalan perlahan, kami juga perlahan.
Dia beristirahat, kami juga berhenti. Hal ini terus berlangsung sepanjang sisa
perjalanan.
Rute perjalanan tidak
semakin mudah, bahkan semakin sulit. Namun aku merasakan perjalanan ini jauh
lebih mudah dan menyenangkan. Mungkin karena kami lebih sering berhenti untuk
beristirahat. Atau mungkin karena ada seorang gadis yang bernama Cece yang
bersedia menjadi tim hore dan penyemangat kami, menjadi seorang perempuan di
sarang penyamun.
Tak berapa lama, kami sudah
sampai di Pos 3, tempat dimana kami bisa menemukan air segar untuk minum dan
mengisi peples kami masing-masing. Disitu ada dua jerigen yang disiapkan oleh
tim pendahulu untuk para peserta mengisi air. Ada sumber air, namun untuk
kesana kami harus menuruni tebing dan menyimpang dari rute pendakian.
Setelah kami selesai mengisi
bekal air dan minum secukupnya, jerigen yang tadi berisi setengahnya sekarang
kosong. Kami bisa saja melanjutkan perjalanan dan membiarkan rekan-rekan di
belakang kami yang mengambil air. Dan disinilah Cece Si Gadis Aset kembali
mengingatkan hakekat pendakian kepada kami. Bahwa sampai puncak bukanlah
tujuan, tetapi mengalahkan ego diri sendirilah yang jadi tujuan.
“Bang, kasihan nanti yang
sampe pos ini belakangan kalau kehabisan air. Abang-abang ini khan tentara,
fisiknya lebih hebat daripada kami kebanyakan. Masak ga bisa mengambilkan air
ke bawah.”
Tak ada bantahan, tak ada
debat, Didik dan Khomsa langsung mengambil jerigen tersebut dan menuruni tebing
untuk mengambil air. Aku dan Christian menunggu di Pos 3 bersama Cece.
“Abang, aset mau jalan
duluan pelan-pelan ya. Nanti susul saja. Kaki Cece kaku kalo berhenti terlalu
lama.” Cece beranjak berdiri dan mulai berjalan. Aku kaget bercampur malu.
Pertama karena dia nampaknya menyadari kalau dialah aset yang sering kami
bicarakan. Yang kedua, dia merubah panggilan dari Pak, menjadi Abang.
“Aset?” Tanyaku berlagak
bloon.Apa dia marah sehingga memutuskan berjalan sendirian meninggalkan kami?
“Iya, Cece tahu dan Cece
bangga sudah menjadi aset abang-abang AURI.” Dia menjawab sambil terus
melangkah, setelah beberapa langkah dia berhenti dan menoleh sambil melemparkan
senyum yang sangat manis. Dia ga marah. Kemudian Cece melanjutkan langkahnya.
Seperempat jam kemudian
Didik dan Khomsa datang. Pertanyaan pertama mereka sudah bisa ditebak. Mana
Cece. Dan mengetahui tim hore sudah berangkat, tanpa beristirahat mereka
langsung memakai ransel dan mengajak berangkat.
Hari sudah mulai gelap, kami
mengeluarkan senter kami masing-masing. Perjalanan pasti akan jauh lebih sulit
di malam hari. Namun dengan berjalan berempat, kecepatan kami meningkat
drastis. Dan ternyata, pos terakhir sudah tidak terlalu jauh.
Tepat pukul 18.30, kami
akhirnya sampai di Camp. Energiku habis. Aku hanya bisa mendirikan tenda, lalu
masuk dan langsung tertidur. Sungguh-sungguh perjalanan yang luar biasa
melelahkan.
(Bersambung ke hari kedua)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar