Salam sahabat alam…
Aku membuka mata, butuh beberapa waktu untuk menyadari
dimana aku sekarang. Aku berada di Base
Camp, beberapa puluh meter di bawah puncak
Pegunungan Cyclops. Oh iya, saat ini aku sedang tergabung dalam tim Ekspedisi
70 Merah Putih Pendakian Pegunungan Cyclops. Kegiatan ini direncanakan
berlangsung selama tiga hari. Hari pertama kemarin, kami habiskan dengan
mendaki dari Sentani dan berakhir di Base
Camp ini, tempat aku menghabiskan malam dalam lelap. Pendakian kemarin
betul-betul menguras tenagaku.
Aku bangun pagi-pagi sekali. Kuraih jam tangan, jam 4.15.
Kubuka pintu tendaku, dan melangkah keluar. Camp ini berupa beberapa tempat
datar yang agak luas, sekedar bisa untuk mendirikan satu atau dua buah tenda.
Samar-samar aku bisa melihat tenda-tenda tersebar di sekelilingku. Belum ada
tanda-tanda kehidupan. Mungkin penghuninya masih terlelap dalam kepenatan usai
pendakian kemarin. Aku berjalan sedikit mendaki ke lokasi berikutnya. Ada tanah
lapang yang lebih luas dari lokasi tendaku. Aku melihat tenda terpal yang
kukenali sebagai tenda tim dari TNI Angkatan Udara dan Pramuka, plus ada
beberapa tenda perorangan disini.
Ditengah-tengah, nampak api unggun yang masih menyisakan bara api dikelilingi beberapa
orang yang duduk meringkuk, mencari sisa-sisa kehangatan dari api unggun. Aku
berjalan bergabung dengan mereka. Aku mengenali Kak Cua dan salah satu teman biker nya.
“Pagi Kak Cua. Nyampe jam berapa semalam?” sapaku sambil
duduk di sebelah mereka.
“Pagi Bapak, saya sampai jam delapan lebih. Bapak sendiri jam
berapa sampai?”
“Jam tujuh kurang. Apa semua sudah sampai?” Aku merapatkan
badanku ke api unggun untuk
mengusir dingin.
“Tadi tim penyapu tiba jam empat pagi. Bersama beberapa
anak sekolah. Sepertinya anak Pramuka. Info dari tim penyapu semua pendaki
sudah tiba, kecuali ada empat peserta yang memutuskan kembali dan tidak
meneruskan perjalanan.”
Ketika kami asyik mengobrol, satu persatu nampak kehidupan
dari tenda-tenda di sekeliling kami.
Dari tenda merah marun yang paling dekat dengan api
unggun, muncul kepala yang tampak besar karena rambut kribo nya. Rupanya itu
tendanya Ray, si pendaki cilik. Pak Ketua menyusul keluar dari tenda yang sama.
Ray menuju ke atas, ke arah tenda panitia, sementara Pak Ketua duduk bergabung
dengan kami.
Dari sebuah tenda hijau tua di balik tenda Pak Ketua,
muncul dua gadis, Cece Si Gadis Aset
dan seorang temannya. Setelah menyapa kami, mereka menuju ke tempat penampungan
air. Sepertinya mereka mau cuci muka dan sikat gigi.
Dari Pak Ketua, aku mengetahui kalau tim yang pertama tiba
adalah Ray si pendaki cilik beserta dua orang dari CPA Hirosi pada pukul 15.10,
sementara tim yang terakhir tiba adalah dua anak pramuka didampingi tim penyapu
sepuluh menit menjelang adzan Subuh. Dan seperti Kak Cua bilang, ada empat
peserta yang tidak melanjutkan pendakian dan memutuskan kembali. Aku bersyukur
bisa mendaki sampai puncak, dan terlebih bisa menyelesaikan pendakian saat
petang hari. Bisa kubayangkan betapa
susahnya pendakian malam hari, melihat medan yang kuhadapi kemarin.
NKRI Harga Mati
Menjelang jam enam pagi, Kak Mika, ketua tim ekspedisi,
turun dari tenda panitia dan merapat ke api unggun tempat kami sedang
berkumpul. Tanpa menyapa, dia langsung berteriak memberikan pengumuman.
“Perhatian, untuk seluruh peserta ekspedisi, dalam waktu
lima menit akan dilaksanakan kegiatan renungan pagi. Agar para peserta segera
berkumpul ke sumber suara.”
Beruntung kegiatan dilaksanakan di tempat kami berada
sehingga aku tidak perlu memindahkan posisi badan yang sudah nyaman dalam
belaian kehangatan api unggun. Terlebih Cece yang sudah selesai membersihkan
muka, duduk tepat di sampingku. Sungguh posisi yang sangat strategis.
Tidak membutuhkan waktu lama, api unggun dikelilingi
beberapa puluh peserta yang nampak masih malas-malasan. Setelah semuanya
berkumpul, Kak Mika memulai kegiatan pagi ini. Kegiatan diawali dengan
berhitung, untuk memastikan jumlah peserta yang telah tiba di Base Camp. Kami berangkat sebanyak 56
orang, 4 orang tidak melanjutkan pendakian, ditambah tim aju sebanyak 4 orang,
maka jumlah kami seharusnya tetap 56 orang.
Setelah meyakinkan jumlah peserta sesuai dengan yang
seharusnya, kegiatan dilanjutkan dengan sesi motivasi yang diisi pak ketua.
Pagi ini Pak Ketua menceritakan tentang Bapak Pandu Dunia, Bapak Baden Powell,
cukup menginspirasi.
Selesai sesi motivasi, kami diberikan waktu untuk kegiatan
pribadi yang dapat kami gunakan untuk sarapan dan berinteraksi dengan sesama
peserta. Timku menemukan tempat yang strategis untuk menyalakan parafin dan
mulai memasak bekal kami. Karena tendaku sedikit terpisah, maka aku turun untuk
mengambil bekal sarapanku. Saat aku naik, ternyata Cece sudah bergabung di
tempat masak dengan segala perlengkapannya. Ada kompor gas lapangan, panci
kecil, gelas-gelas kecil, minyak goreng, kornet, roti, dan juga mie instan
Aku bertanya-tanya, dimana dia menyimpan semua barangnya,
karena aku tahu dia hanya membawa carrier 40 liter, sama dengan ranselku.
Ranselku sendiri sudah penuh sesak hanya dengan memasukkan tenda dan sleeping bag ke dalamnya. Bekalku, yang
hanya 2 kaleng konservan, 2 bungkus mie instan, roti tawar dan beberapa minuman
instan dengan susah payah aku selip-selipkan ke dalam ransel. Sementara dia
sudah macam mau buka toko kelontong saja, semuanya ada.
Yang membuatku lebih heran, buat apa gadis dengan postur
seperti tiang listrik begitu, membawa bekal sebanyak itu. Kami hanya akan
berada disini sehari semalam, namun makanan yang dia bawa, lebih dari cukup
untuk seseorang bertahan di hutan selama seminggu lebih. Jangan-jangan dia
model cewek yang walaupun kurus, namun memiliki usus yang panjang sehingga
susah kenyang.
Namun ternyata, bekal berlimpah Cece adalah berkah bagiku.
Karena ternyata Cece dengan rela hati menjadi tim dapur umum. Bukan hanya
bekalnya yang dia bagi, namun diapun dengan sukarela memasakkannya untuk kami. Bahkan
pengalamannya membuat hidangan istimewa dengan bahan seadanya semakin
memanjakan lidah kami. Ditambah celotehnya yang tidak pernah berhenti,
benar-benar menjadi hiburan yang menyegarkan bagi kami.
“Abang,air sudah mau habis, tolong ambilin bisa kah? Masak
menjaga negara saja bisa, ambilin air ga mampu.” Untuk kesekian kalinya suara
cerewetnya membuat Didik dan Khomsa beranjak dari duduknya dan mengambil
jerigen yang sudah kosong untuk selanjutnya turun ke sungai. Hal ini
menjadikanku hanya berdua bareng Cece yang sedang membereskan peralatan
memasaknya. Kesempatan yang sangat baik untuk mengajaknya ngobrol dengan lebih
private.
“Abang, jangan hanya diam, bantuin beresin donk. Nanti
siang dan sore kita masih harus masak. Bisa tolong kumpulkan sampah dan bakar
di api unggun?”
Belum juga aku membuka mulut, bibir tipisnya sudah
memberondongku dengan kata-katanya yang tak terbantahkan. Dengan patuh aku
melaksanakan permintaannya. Sambil memunguti sampah, kucoba untuk mengajaknya
bercakap-cakap.
“Cece, gimana cara adek atur carrier sehingga barang
sebanyak ini bisa masuk?” Hmm, basa basi yang cukup bagus untuk membuka
percakapan.
“Ransel Cece isinya hanya baju dua potong, selimut dan
jaket, Abang. Sisanya peralatan memasak dan bahan
makanan. Cece tidak bawa tenda, jadi semua bisa masuk.”
“Trus itu tenda siapa?” Tanyaku sambil menunjuk tenda
hijau dimana aku melihatnya pertama kali tadi pagi.
Percakapan selanjutnya berjalan lancar. Semua pertanyaanku
dia jawab dengan senang hati, kadang serius, tapi lebih banyak bercandanya. Ada
satu kata, atau lebih tepatnya frase yang sering dia ulang dalam beberapa
kesempatan. Frase “NKRI Harga Mati”. Dia mendapatkan frase itu dari tulisan di
kaos yang kupakai. Awal dia mengucapkannya adalah ketika dia menceritakan
tentang tugasnya sebagai seorang bidan penyuluh. Tugas yang mulia, namun resiko
dan bahayanya tidak kalah dengan kami anggota TNI yang bertugas di perbatasan.
Untuk melaksanakan tugasnya, Cece beserta tim nya harus berkeliling ke seluruh
pelosok di penjuru papua. Boven Digul, Asmat, Wamena, adalah beberapa contoh
dari tempat yang harus dia kunjungi. Tak jarang dalam melaksanakan tugasnya,
Cece dan tim harus mendapatkan pengawalan dari anggota TNI karena daerah yang
dia tuju termasuk dalam daerah rawan dan berbahaya. Karena pengalaman itulah,
dia sering berinteraksi dengan rekan-rekan kami tentara perbatasan, sehingga
dia benar-benar memahami beratnya tugas kami. Karena itulah ketika dia pertama
kali membaca tulisan di kaosku, dia sangat terkesan untuk kemudian
menjadikannya salam pemberi semangat kami. “NKRI Harga Mati abang…!!!”
Generasi Bebas Romina
Menjelang tengah hari, kami kembali berkumpul di area api
unggun yang kini hanya tinggal abu dan arang. Ada suatu kegiatan yang merupakan
salah satu inti dari pendakian ini. Penandatanganan
Deklarasi generasi bebas Romina. Romina adalah akronim dari Rokok, Minuman
Keras, dan Narkoba.
Aku cukup mengagumi ide dan semangat CPA Hirosi untuk
mengangkat tema ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa komunitas pecinta alam,
khususnya yang ada di kota-kota besar, saat ini banyak yang menjadikan Romina sebagai bagian dari gaya hidupnya. CPA Hirosi
berkeinginan mengubah image tersebut. CPA Hirosi ingin menunjukkan bahwa di
ujung timur Indonesia, ada sekelompok remaja yang selain hobi mendaki gunung,
juga berperilaku hidup sehat dan menjauhi Romina.
Aku sendiri bukanlah seorang perokok (lagi). Aku juga
bukan seorang pemabuk, walaupun aku mengakui tidak sepenuhnya selalu bebas dari alkohol. Dan aku sudah
jelas tidak mengkonsumsi narkoba. Namun itu aku lakukan untuk pribadiku
sendiri, demi diriku dan orang-orang yang aku sayangi. CPA Hirosi melakukan
lebih dari itu. Dia “memaksa” generasi muda yang ikut dalam kegiatan ini untuk
mendeklarasikan diri sebagai generasi bebas Romina. Aku yakin ada beberapa
peserta adalah perokok, peminum, atau mungkin bahkan ada yang pengguna. Namun
CPA Hirosi dengan caranya sendiri membuat mereka meninggalkan Romina,
setidaknya selama pendakian ini berlangsung.
Selesai penandatanganan, tidak ada kegiatan terpimpin sampai sore hari. Beberapa peserta yang ditunjuk sebagai petugas
pengibaran bendera tampak sedang serius mempersiapkan upacara besok, sementara
peserta lainnya sibuk dengan kegiatan
masing-masing seperti foto-foto, melanjutkan acara makan, ataupun saling
mengunjungi tenda peserta lain.
Upacara besok, aku memberikan kesempatan kepada Kapten
Sucipto untuk menjadi Komandan Upacara. Pertama, biar adil, karena aku sudah
tampil sebagai Komandan Apel saat
pemberangkatan kemarin. Alasan kedua, dengan
tidak terlibat langsung upacara besok, aku
jadi bisa santai dan
tidak sibuk mempersiapkan upacara. Petugas upacara lainnya sengaja dipilih dari anak-anak mahasiswa dan juga
klub, untuk memberi
kesempatan semua peserta untuk berpartisipasi (termasuk Cece yang akan bertugas
sebagai Dirigent). Rekan-rekan TNI hanya aku arahkan untuk membantu
melatih saja. Dari TNI, praktis hanya Kapten Sucipto saja yang akan bertugas besok.
Malam harinya, ada suatu kegiatan yang sangat
menyenangkan. Kita turun ke Teras
untuk bermain senter dengan Kota Sentani. Teras adalah suatu tempat, jaraknya
sekitar tigapuluh meter di bawah Base Camp. Teras
menjadi tempat yang sangat strategis untuk
melihat Kota Sentani karena tidak ada
pepohonan ataupun obstacle
lainnya yang menghalangi indahnya pemandangan Kota
Sentani di bawah, areanya juga cukup datar dan lumayan
luas meskipun berada di tepi jurang.
Rasanya sangat menyenangkan ketika kami mengarahkan cahaya senter ke arah kota, lalu kita mendapatkan balasan cahaya dari bawah. Seperti
ada pengakuan bahwa warga kota Sentani melihat dan mengakui apa yang sudah kami perbuat. Cukup banyak yang membalas sorotan cahaya dari
kami, termasuk dari komplek perumahan TNI Angkatan Udara.
Sekitar setengah jam kami bermain senter, kabut mulai
turun dan menghalangi pandangan kami. Banyak dari teman-teman peserta bertahan
di teras karena belum puas bermain senter dan berharap kabut tersebut hanya
lewat sebentar. Aku sendiri memutuskan untuk naik kembali ke Base Camp. Aku
hanya membawa headlight, sejenis
senter yang dipasang di dahi, sehingga tidak bisa digunakan untuk main senter.
Di perjalanan kembali, ternyata ada seseorang yang juga memutuskan
kembali ke Base camp lebih awal. Dan orang itu tak lain dan tak bukan adalah
Cece, Si Gadis Aset. Dia beralasan
senternya kecil dan tidak cocok untuk digunakan main senter, alasan yang sama
denganku. Akhirnya kami berjalan bersama menuju Base Camp.
Sesampai di Base Camp, dengan sebagian peserta masih ada di teras, kami berdua bisa
leluasa menghangatkan diri di dekat api unggun sambil bercerita panjang lebar.
Suasana malam yang sunyi, gelap dan tenang, membuat percakapan kami menjadi
lebih terasa personal. Tak terasa aku sudah bercerita tentang hal-hal dan
cerita yang bersifat pribadi kepada seseorang yang baru kukenal kurang dari
satu minggu. Salah satunya, cerita
tentang kepindahanku ke Jayapura yang membuatku harus terpisah waktu dan jarak
dengan keluargaku.
Namun sebenarnya, malam itu aku lebih banyak menjadi
pendengar. Karena aku mendapatkan kepercayaan dari Cece untuk mengetahui kisah
hidupnya yang jauh lebih berwarna daripada
yang kuduga. Dibalik tawanya yang ceria, dibalik senyumnya yang manis, ada banyak
cerita yang luar biasa. Setelah
menyimak kisahnya, aku merasa malu. Masalahku tidak ada seujung kuku jika dibandingkan kisah
hidupnya, dan aku sudah merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia.
Sementara Cece, dengan semua beban yang ada dipundaknya, masih bisa tersenyum,
tertawa dan menjadi penyemangat bagi orang-orang disekitarnya.
“Ketika Cece tersenyum, bukan berarti hidup Cece sempurna
bang, Cece hanya berusaha mensyukuri apapun yang telah Tuhan berikan untuk Cece.” Speechles aku mendengarnya.
Percakapan kami terhenti
karena sebagian peserta sudah kembali dari Teras dan bergabung bersama kami.
Tak lama kemudian Cece berdiri dari tempatnya lalu bergabung dengan beberapa
peserta yang akan menjadi petugas upacara besok, untuk melaksanakan pemeriksaan
terakhir. Aku sendiri memilih untuk beristirahat lebih cepat dengan
pertimbangan besok harus turun dari pegunungan Cyclops yang membutuhkan energi
ekstra.
Indonesia Tanah Air Beta
Pagi harinya, begitu bangun,
semua peserta mulai memberesi tenda masing-masing. Dalam waktu limabelas menit
saja, tendaku sudah rapi terlipat dan masuk ke dalam carrierku. Aku membawa ranselku ke atas, untuk bergabung dengan
rekan-rekan yang sedang membongkar tenda terpal mereka.
Aku tak bisa menahan senyum
ketika sampai diatas. Di tempat kami biasa memasak, nampak berbagai macam
makanan bertumpuk jadi satu. Aku menduga Cece telah mengosongkan sebagian besar
isi carriernya pagi ini, dan ditambah
sisa-sisa bekal dari teman-temanku, jadilah sebuah bukit kecil yang terbuat dari
bahan makanan. Siapa yang akan menghabiskan semua makanan itu dalam waktu
singkat.
“Abang mau makan apa? Mie,
roti isi, ransum, atau yang lain?” Cece yang sedang memanaskan kornet menyapaku
sambil tersenyum.
Aku tak menjawab
pertanyaannya, kuambil selembar roti gandum dan kuserahkan padanya. Cece
menerimanya, kemudian menambahkan daging kornet diatas roti. “Abang harus makan
yang banyak, untuk mengurangi beban ransel Cece” Ucapnya sambil mengulurkan
roti isi yang sudah jadi. Berarti benar, sebagian besar dari makanan ini berasal
dari bekal dia. Aku menerima roti itu dan mulai menikmatinya.
“Makanya, bawa bekal
secukupnya, Jangan semua isi supermarket dibawa keatas. Macam mau buka toko
kelontong disini saja”
“Abang, Cece orangnya suka
makan, dan tidak bisa makan sendiri, makanya Cece bawa bekal banyak, supaya
bisa makan bareng dengan teman-teman. Abang protes saja, tapi giliran makannya mau.”
Aku cuman nyengir mendengar celotehnya, telingaku sudah mulai terbiasa dengan
kata-kata pedasnya.
Setelah semua tenda sudah
dibongkar, dan semua sudah sarapan, peserta dan panitia turun ke Teras untuk
melaksanakan upacara peringatan HUT RI ke-70. Bertindak sebagai Pembina Upacara
adalah Pak Ketua, sementara Kapten Sucipto yang menjadi Pemimpin Upacara. Kak
Ola dari Komite Penanggulangan AIDS (KPA) didaulat menjadi pembawa acara.
Pengibar bendera adalah tiga orang yang terdiri dari perwakilan mahasiswa
poltekkes, pendaki Merauke, dan perwakilan Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GMPI). Setelah
satu kali gladi, upacara dapat kami laksanakan dengan lancar.
Walaupun upacara yang
dilaksanakan dengan sederhana, tempat seadanya, pakaian warna warni, bahkan
kita mendahului satu hari dari yang seharusnya, namun aku merasa upacara ini
tidak kalah khidmat dengan upacara yang dilaksanakan di Istana Negara. Terlebih
saat Cece yang bertugas sebagai dirigent
memimpin seluruh peserta upacara menyanyikan lagu Indonesia Pusaka.
Lirik lagu yang sedikit syahdu, membuat hati seluruh peserta upacara tergetar.
Apalagi kami menyanyikannya dipimpin seorang bidan muda cantik yang mengabdikan
dirinya sebagai penyuluh kesehatan di pelosok-pelosok Papua. Betul-betul
mengena di hati. Merdeka…!!!
Selesai upacara, kami
kembali ke Base Camp untuk mengambil
barang bawaan kami, sekaligus menghilangkan semua bekas dan jejak selama kami
disana. Semua sampah kami bakar dan kaleng-kaleng kami timbun. Kemudian kami
bersiap untuk turun gunung.
Perjalanan turun ternyata
tidak seberat yang aku bayangkan. Meskipun tidak bisa sampai berlari, namun
perjalanan turun jauh lebih cepat daripada saat berangkat. Dan setelah dua
setengah jam perjalanan, tiga kali terpeleset, dan empat kali terantuk batang
pohon, aku sampai di CPA Hirosi.
Setelah semua peserta tiba
di CPA Hirosi, Kak Mika selaku ketua tim ekspedisi menghitung jumlah peserta, untuk
kemudian menyampaikan ucapan terima kasih atas partisipasi seluruh peserta.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pembagian kaos kegiatan. Menjelang maghrib,
satu persatu dari kami meninggalkan CPA Hirosi untuk kembali ke tempat kami
masing-masing.
Tiga hari yang luar biasa,
tiga hari yang tidak terlupakan dalam hidupku. Semoga pengalaman ini semakin
membuatku bertambah dewasa.
Salam sahabat alam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar